Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Sabtu, 28 Juli 2012

Inginnya Meng-(KARAT) Oleh: Sandra Noryz


Pahitnya...sungguh melebihi empedu
Mau berapa kali lagi aku harus memanggilmu?
Melafal suku kata di namamu
Mengeja huruf demi huruf hingga tercipta deretan semu
Huruf usang. . .
Huruf karang. . .
Yang masih mengakar di tanah merah
Meng-karat... berapa kali karat hingga inginnya se-karat
Apa guna karat, jika tak jejal salat
Aku, merindu puing
Aku, merindu lembing
Aku, merindu dinding
Yang ingin kurutuh saja
Yang ingin kuluruh saja
Yang ingin kubunuh saja
Enyah sejah ‘dari’ rah


(Petak epigon yang menyesatkan: pulanglah ke rumahmu)
Alamat: Aris Rudianto “sang aufklarung”
Ruteng,280712-00.00 

Sabtu, 14 Juli 2012

Catatan Lembut Sang Pendidik - Januari



Rabu, 4 Januari  2012
Tanggal 4 seharusnya menjadi tanggal yang bersejarah bagiku, karena hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah dan mengajar di pedalaman NTT. Sayang sekali...aku hanya bisa duduk diam di rumah meratapi nasib.
Kamis, 5 Januari 2012
Periksa ke RSUD. Aku bersama mbak Ina pergi ke Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng yang letaknya lumayan jauh dari kota. Dengan menggunakan jasa ojek akhirnya kami sampai di RSUD. Bukan main hal yang pertama melintas dibenakku adalah bentuk bangunannya yang agak sedikit berbeda dengan rumah sakit di Jawa. Sedikit lebih kecil namun penuh dengan jibunan orang yang katanya sakit. Aku dan Mbak Ina langsung menuju ke loket pendaftaran, hanya saja ada hal yang sedikit membuatku bingung. Di sini tidak ada nomor antrian sehingga pasien harus menulis nama dan alamat pada kertas yang disiapkan sendiri untuk diberikan kepada petugas di loket pendaftaran.

Jumat, 13 Juli 2012

TRAGEDI MAMPAU Oleh: Sandra Noryz*

Mampau adalah sebuah kampung yang terletak di desa SatarLuju Kecamatan Satarmese Barat. Sebenarnya kecamatan ini bukanlah tempat tugasku. Aku hanya pergi pesiar (berkunjung) ke tempat tugas rekan SM-3T yang bertugas di SMP N 8 Satarmese. Kecamatan ini sangat jauh dari kota kabupaten, jika ditempuh dengan menguunakan Oto Kol (sebuah kendaraan khas Manggarai) memakan waktu 4-8 jam. Tak menyangka pengalaman terburuk selama hidupku terjadi di kampung Mampau.

Sabtu, 31 Desember 2011
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan aku memutuskan untuk berangkat ke pulau Mules hari ini. Terpaksa aku meninggalkan 3 orang temanku yang sebenarnya ingin ikut. Namun apa boleh buat, tekadku sudah bulat untuk menuju ke pulau Mules. Akhirnya hanya aku dan Aran yang berangkat, susah payah aku membujuknya untuk ikut, bukan apa-apa hanya agar aku tidak sendirian dari Ruteng. Pukul 08.00 WITA aku menuju ke rumah kepala sekolah SMP N 8 Satarmese Barat di Ruteng, karena rencananya aku akan menumpang mobil carteran kepala sekolah temanku. Aku diantar oleh Mansur sementara Aran menyewa jasa ojek. Aku pikir, ketika tiba di rumah kami langsung berangkat ternyata pukul 11.00 WITA baru berangkat. Untuk kali ini kami melalui jalur yang berbeda dengan jalur oto sehingga jarak yang tadinya dapat ditempuh selama 5 jam, bisa kami tempuh selama 3 jam saja.

Kamis, 12 Juli 2012

Monev III - SDI Mahima

120712
Hari kedua monev saya bertukar posisi dengan Mansur untuk mendampingi Pak Ali dan Mbak Lilla ke kecamatan Reo, tepatnya di SDI Mahima yang terletak di dusun Wangkung. Rombongan kami berangkat dari Ruteng sekitar pukul 11.00 WITA karena menunggu armada yang telah disiapkan oleh dinas. Tiba di Reo sekitar pukul 13.00 WITA. Desa Mahima bisa di tempuh selama 45 menit dari Reo dengan kendaraan bermotor, sedangkan SDI Mahima hanya bisa di jangkau dengan berjalan kaki selama kurang lebih 30 menit

Catatan Lembut Sang Pendidik - Desember


Kamis, 15 Desember 2011
Kabut masih berkuasa pada pukul 04.00 WITA. Tubuh serasa kelu, masih membekas jejak-jejak keletihan malam tadi. Lagi-lagi sugesti bermain diotakku (Ayo San, meski dingin kau harus tetap bangun dan menunaikan salat subuh). Jika sugesti sudah berlaku demikiaan, maka tidak ada yang mesti dilakukan kecuali mengikutinya.
Hari ini bangun pagi pertamaku di pulau Flores dengan kondisi fisik yang cukup bugar didukung dengan udara yang segar. Aku pun memberanikan diri untuk keluar, melihat suasana sekitar yang tadi malam tidak sempat terekam karena matahari sudah keperaduan. Berjalan berkeliling Santa Clause, melihat bukit yang berdiri dengan kokohnya mengitari perkampungan sebelah timur bangunan Santa Clause. Sejuk dihati...sejuk dimata...sejuk dalam rasaku.
Aktivitas merangkak naik menunjukkan bahwa ia penting dalam kehidupan. Para pendidik mulai menyantap hidangan yang telah disediakan. Tak pelak setelah itu kami mulai memikirkan apa langkah selanjutnya setelah ini, apa yang akan pendidik lakukan pertama kali setelah menginjakkan kaki di bumi flores ini. Bertanya, berkenal, berdiskusi dengan pendidik  lain, yang notabene berasal dari daerah berbeda. Sungguh syahdu...

Rabu, 11 Juli 2012

Monev III - SDI BORIK


110712
Tidak menyangka kalau hari ini saya beserta tim monev LPTK UNNES berhasil menempuh jarak yang tidak dekat menuju desa Borik kecamatan Satarmese Barat kabupaten Manggarai untuk menyempurnakan program SM-3T. Monev ini adalah monev ke-3 yang dilakukan LPTK untuk memantau kinerja guru di tempat tugas. Tim monev berjumlah 4 orang yakni Dekan FE (Drs. S. Martono, M,Si.), Dekan FH (Drs. Sartono Sahlan, M.H.), Staf Ahli PR I (Ali Formen, S.Pd, M.Pd.), dan Staf PPG (Rina Lilla Handayani, S.Pd.). Dalam pelaksanaan monev, tim masih dibagi menjadi 2 kelompok. Pak Ali dan Mbak Lilla bertugas memonitoring kecamatan Rahong Utara tepatnya di SD Satap Rangkang Kalo dengan didampingi oleh Korkab ( Mansur Amriatul), sedangkan Pak Martono dan Pak Sartono bertugas memonitoring kecamatan Satarmese Barat tepatnya di SDI Borik yang didampingi oleh Korcam Wae Ri'i (Saya sendiri, hehehe).

Selasa, 10 Juli 2012

RESENSI BUKU: Menyatukan Tiga Kepingan Bonang

Judul : BONANG
Pengarang : Surahmat
Penerbit : Cipta Prima Nusantara
Tahun : 2009
Kota : Semarang
Tebal Halaman : 312


KENISCAYAAN dalam dunia literer, khususnya sastra, adalah pembagian tugas antara penulis dan pembaca. Pembaca bertugas mengkonstruksikan makna, setelah penulis selesai menyelesaikan tugas menghamburkannya. Relasi penulis dan pembaca dalam novel berjudul Bonang juga demikian. Sejumlah makna disajikan penulis secara berserakan, dan menuntut ketelatenan pembaca untuk merangkainya.
Novel Bonang bercerita tentang sebuah keluatga kecil yang bertahan hidup di tengah kemarau panjang pertengahan tahun 60-an. Empat anak dalam keluarga ini diberi nama persis dengan gamelan. Si sulung bernama Kendang, adiknya bernama Saron, Bonang, dan Gambang. Sejatinya, kepala keluarga ini mengidamkan lahirnya seorang bocah laki-laki lagi agar kemudian diberi nama Bagong dan Gong.
Meski hidup di desa, keluarga ini tak bisa menghindar ketika kisruh politik tahun 1965 mengemuka. Bahkan akibatnya dirasakan keluarga ini demikian parah, hingga pada akhirnya membuatnya berantakan.

“Aufklarung” dalam Gerakan Pramuka Kian Mencerah Oleh: Sandra Noryz


Gerakan Pramuka di Indonesia mengalami penurunan, baik dari segi kuantitas maupun kualitasnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi? karena kegiatan gerakan pramuka kurang popular atau menarik minat kaum muda, generasi kepelatihan terhambat, dan dianggap tidak mampu menangkal dan menyelesaikan masalah kaum muda. Pramuka yang dulu mempunyai kepribadian yang tercermin dalam satya darma, seiring dengan perkembangan zaman, lambat laun bergeser dari hakikat yang sebenarnya. Pramuka dianggap tidak relevan dengan fakta, ketinggalan zaman dan ironisnya lagi anggota gerakan pramuka terlalu suka dengan simbol-simbol tanpa tau arti dari simbol tersebut. Mereka terlalu sibuk mencari atribut penghargaan sebanyak-banyaknya tanpa melalui tes atau uji sebagai syarat untuk mendapatkannya. Lalu pramuka bisa dikatakan mahal karena sangat terikat dengan seragam beserta pernak-perniknya mulai dari ujung kaki sampai ujung kepala yang menuntut keseragaman dan kerapian anggota pramuka. Hal ini merupakan indikasi bahwa pramuka sudah tidak menganut “azas kesederhanaan” tetapi “azas keglamoran” yang tentu saja membutuhkan dana yang tidak sedikit.