Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Selasa, 10 Juli 2012

RESENSI BUKU: Menyatukan Tiga Kepingan Bonang

Judul : BONANG
Pengarang : Surahmat
Penerbit : Cipta Prima Nusantara
Tahun : 2009
Kota : Semarang
Tebal Halaman : 312


KENISCAYAAN dalam dunia literer, khususnya sastra, adalah pembagian tugas antara penulis dan pembaca. Pembaca bertugas mengkonstruksikan makna, setelah penulis selesai menyelesaikan tugas menghamburkannya. Relasi penulis dan pembaca dalam novel berjudul Bonang juga demikian. Sejumlah makna disajikan penulis secara berserakan, dan menuntut ketelatenan pembaca untuk merangkainya.
Novel Bonang bercerita tentang sebuah keluatga kecil yang bertahan hidup di tengah kemarau panjang pertengahan tahun 60-an. Empat anak dalam keluarga ini diberi nama persis dengan gamelan. Si sulung bernama Kendang, adiknya bernama Saron, Bonang, dan Gambang. Sejatinya, kepala keluarga ini mengidamkan lahirnya seorang bocah laki-laki lagi agar kemudian diberi nama Bagong dan Gong.
Meski hidup di desa, keluarga ini tak bisa menghindar ketika kisruh politik tahun 1965 mengemuka. Bahkan akibatnya dirasakan keluarga ini demikian parah, hingga pada akhirnya membuatnya berantakan.

Tiga Perspektif
Cerita pokok yang diungkap penulis dalam novel ini mencakup tiga aspek kehidupan, yakni agama, sosial, dan budaya. Semuanya tersusun secara resiprokal menjadi bagian yang saling menyokong. Fakta-fakta sosial diungkapkan melalui pendekatan budaya dan agama.
Pada aspek keagamaan penulis agaknya bersungguh-sungguh memberikan penekanan. Meski berusaha menghindari cap sebagai novel religius, konflik agama muncul dalam porsi yang dominan. Tidak semata-mata konflik antara penganut Islam dan golongan atheis, tapi juga hamba kepada Tuhan-nya. Sebab dalam konsep beragama yang berkembang masa itu, hubungan hamba dan Tuhan adalah pokok ajaran beragama.
Dominasi persoalan agama tidak hanya muncul menghiasi tarik ulur cerita. Sejak awal, bahkan melalui pengantarnya yang singkat, penulis menekankan ada masalah serius dalam kehidupan masyarakat beragama kita. Keimanan yang setengah-setengah pada akhirnya tidak akan membawa pencerahan. Keragu-raguan seorang pemeluk agama justru akan menjadi dilema, untuk tidak percaya atau iman secara total.
Tampaknya persoalan agama sengaja dimunculkan penulis sebagai satire terhadap kehidupan agama dewasa ini. Buktinya, meski diungkap dalam kerangka setting 60-an persoalan tersebut ternyata sangat mutakhir. Problem keyakinan masih bisa dijumpai saat ini, bahkan disekitar kita. Penyakit ragu-ragu dan mang-mang dalam beragama bisa jadi juga diidap oleh keluarga atau saudara-saudara kita.
Setelah persoalan agama, aspek yang mendapat porsi besar penceritaan adalah masalah sosial politik. Novel ini menuturkan secara detail bahwa kemiskinan memang bisa menjadi sumber persoalan. Tak hanya masalah keluarga, kemiskinan bisa memicu konflik antar kelas.
Bagi korban sekaligus pelaku, kemiskinan adalah bencana yang amat mengerikan. Karena dari situlah bencana-bencana yang lain kemudian muncul. Kemiskinanlah yang pada akhirnya merubah perangai manusia yang penuh budi menjadi makhluk beringas tanpa batas. Berawal dari kemiskinan seluruh potensi kriminal bermunculan.
Berlawanan dengan korban, bagi masyarakat kelas atas kemiskinan adalah kesempatan. Jika dikelola dengan baik, kemiskinan adalah sumber kekuatan yang luar biasa besar. Sebab, golongan miskin (yang sekaligus tidak cerdas) dapat digerakkan untuk komoditas tertentu. Mereka direkrut menjadi sukarelawan pergerakan atau anggota partai demi kekuatan politik tertentu.
Persoalan agama dan kemiskinan ternyata tidak cukup untuk meletakkan cerita dalam novel ini menjadi kerangka masalah yang utuh. Agar mampu melihat persoalan secara komprehensif diperlukan pemahaman budaya. Perspektif ini diperlukan mengingat tokoh dalam novel ini adalah kaum Jawa tanpa pemahami aspek budayanya tentu akan nihil.
Pembaca yang pemahaman budayanya kosong tentu akan sangat geram menyimak laku tokoh Ibu dalam cerita ini. Ia sudah tahu bahwa suaminya berselingkuh, tapi masih mencium tangan saat suaminya pulang. Ia tahu bahwa suaminya pernah meninggalkannya, tapi masih merawatnya ketika sakit. Bahkan dengan sigap ia memberanikan diri menjadi tulang punggung keluarga ketika sang suami sakit.
Sikap ini bisa dipahami dari perspektif Jawa. Sebab sang istri (garwa) dalam entitas kebudayaan Jawa adalah sigaring nyata, tindakan ini menjadi nalar. Bahkan sudah biasa. Di balik sikap sumeleh-nya, perempuan Jawa selalu bersikap cuncut tali wanda, yang dalam konsepsi Jawa diartikan sebagai tindakan siap bertanggung jawab mengambil alih komando keluarga.
Cerita Bonang sangat mengagumkan. Penulis, yang tak lain adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNNES, memasukkan nilai edukasi dan history yang dikemas dalam bentuk cerita sehingga pembaca tidak merasa bahwa ia baru saja belajar tentang sejarah yaitu peristiwa G/30/S/PKI. Cerita yang menggunakan alur sorot balik ini begitu menggoda, penggunaan bahasa yang mudah dimengerti serta cerita yang tidak bertele-tele membuat pembaca tidak merasa jenuh, dan penulis berhasil menciptakan rasa penasaran kepada pembaca untuk segera menyelesaikan membaca buku ini. Sangat luar biasa, buku pendobrak peradaban.
Sayangnya, cerita yang bagus ini tidak diimbangi dengan editing yang baik pula. Sayang sekali buku ini masih banyak kesalahan dalam pengejaan dan terdapat halaman yang sama. Blunder yang fatal.
_Sandra Novita Sari, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNNES

0 komentar:

Posting Komentar