Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Rabu, 12 Januari 2011

Dampak Pembagian Kerja Gender Terhadap Pendidikan Anak

Kemajuan-kemajuan yang dicapai dalam era globalisasi ternyata tidak sepenuhnya berdampak positif. Permasalahan-permasalahan baru yang mengiringi tidak jarang mengguncang kehidupan sosial masyarakat. Perubahan yang berlangsung bahkan sering kita lihat sebagai pemicu dasyat bagi pergeseran nilai-nilai normatif kehidupan.
Perbincangan perempuan dalam rubrik kesetaraan gender dewasa ini yang dilahirkan oleh kemajuan globalisasi bukan menjadi suatu hal yang tabu dimata publik. Pelbagai wacana mengenai ketimpangan gender dalam kultur masyarakat lokal maupun modern selalu pasang surut berkenaan dengan konteks yang mengikutinya. Perempuan yang dalam perannya yang asasi dan urgen sesuai dengan nalurinya aadalah berada di dalam rumah, yaitu mendidik anak-anak dan melayani suami. Hal itu bhukanlah sebuah pekerjaan yang mudah dan hina, tetapi merupakan pekerjaan yang teramat mulia, tanggung jawab yang berat dan pekerjaan yang luhur. Suatu hal yang sangat berbahaya yang dilakukan dalam dunia modern ini adalah berpalingnya seorang wanita dari rumahnya dan anak-anaknya. Perempuan meninggalkan ranah domestik sebagai ibu rumah tangga dan sibuk diranah publik bersama kaum lelaki. Kenyataan seperti ini, sudah diakui oleh pakar pendidikan mengenai dekadensi moral, yakni mereka meneliti langsung masalah-masalah tersebut.
Masyarakat kadang-kadang juga membutuhkan keterlibatan kaum wanita dalam berbagai hal yang sesuai dengan karakteristiknya, misalnya dokter, guru atau juru rawat. Dengan catatan, pekerjaan-pekerjaan itu masih dalam lingkup dunia perempuan semata.
Tetapi dalam kenyataannya tidak demikian. Profesor Omas Ihromi dalam bukunya yang berjudul Kajian Perempuan dalam Pembangunan, mengatakan bahwa sejumlah 43% dari pasangan suami istri di Indonesia menerapkan pembagian peran atau saling menggantikan peran-peran tersebut. Baik pasangan yang sama-sama bekerja maupun pasangan yang benar-benar bertukar peran: suami tinggal di dalam rumah menggantikan tugas istri, sedangkan istri bekerja di sektor industri pabrik sebagai buruh, pembantu, atau pelayan. Umumnya pembagian peran (kerja) tersebut dilakukan oleh kalangan ekonomi rendah di pedesaan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor ekonomi memang mempengaruhi pola pembagian peran antara suami dan istri.
Pembagian peran
Pembagian kerja gender atau pembagian kerja menurut jenis kelamin mewujudkan mewujudkan suatu tindakan yang mana seluruh bidang kegiatan yang ada dalam suatu masyarakat dibagi menurut jenis kelamin perempuan dan laki-laki. Menurut Budiman (1985) dan Sayogyo (1988) bidang tersebut dapat dibagi antar lapangan pekerjaan, misalnya perempuan mengasuh anak sedangkan laki-laki berburu atau dapat juga dibagi dalam suatu lapangan pekerjaan perempuan menanam padi dan laki-laki membajak sawah.
Dalam meninjau peranan perempuan dalam masyarakat menurut Budiman, kita harus memperhatikan dua teori besar yaitu teori alamiah (nature) dan teori sosial budaya (nurture). Pada pembahasan teori alamiah, perempuan dan laki-laki dibedakan atas dasar faktor biologis, sedang pada pembahasan teori sosial budaya pembedaan tercipta melalui proses belajar dari lingkungannya. Perbedaan biologis oleh masyarakat dijadikan alasan untuk membedakan perempuan dan laki-laki dalam banyak hal, termasuk “merumahkan” perempuan untuk melindungi perempuan dari dunia luar yang dianggap lebih keras. Dengan adanya stereotip bahwa perempuan berperan dalam lingkup domestik dan laki-laki di lingkup publik, maka jika karena suatu sebab perempuan harus bekerja di luar rumah, pembagian kerja menurut jenis kelamin terus dilestarikan di dunia kerja, perempuan dinilai hanya boleh atau tidak pantas memasuki lapangan kerja tertentu.
Pendidikan Anak
Banyak penelitian menunjukkan bahwa dalam pendidikan masih terdapat muatan bias gender. Bahkan dinyatakan, peran publik perempuan lebih rendah dari pada laki-laki serta akses dan kontrol wanita terhadap pengambilan keputusan lebih rendah dari pada laki-laki. Dalam kancah pendidikan, peran perempuan yang termarginal secara sosial, banyak mendatangkan efek negatif seperti misalnya belum adanya wawasan gender baik pada laki-laki maupun perempuan. Adanya perasaan minder pada laki-laki yang mempunyai pendidikan lebih rendah dan perempuan masih banyak terjadi.
Menurut Jacinta F. Rini, M.Si, secara psikologis anak usia enam tahun sedang berada dalam tahap perkembangan dimana sense of industry mereka semakin tinggi. Pada akan muncul kebutuhan untuk menjadi diri sendiri, kebutuhan untuk bereksplorasi, serta meningkatkan kepercayaan diri.
Umumnya setiap anak memiliki tiga kebutuha dasar: kebutuhan akan otonomi yakni kebutuhan untuk menentukan pilihan-pilihan sendiri, kebutuhan akan perasaan kompeten yakni kebutuhan anak untuk merasa bahwa dirinya mampu melakukan segala hal sendiri, serta kebutuhan untuk berhubungan secara sehat dengan orang lain.
Kenyataannya perilaku anak-anak buah dari pembagian kerja gender tidak sesuai dengan perkembangan perilaku anak-anak normalnya. Mereka cenderung kurang terdidik dan mendapat kasih sayang dari orang tuanya terutama ibu. Namun hal tersebut jarang diindahkan oleh orang tua mereka yang masih tetap asik pada pekerjaannya masing-masing. Akibatnya pola tingkah laku anak menjadi brutal dan cenderung mencari kesibukan di luar rumah.

¬_Sandra Novita Sari, Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Universitas Negeri Semarang