Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Kamis, 12 Juli 2012

Catatan Lembut Sang Pendidik - Desember


Kamis, 15 Desember 2011
Kabut masih berkuasa pada pukul 04.00 WITA. Tubuh serasa kelu, masih membekas jejak-jejak keletihan malam tadi. Lagi-lagi sugesti bermain diotakku (Ayo San, meski dingin kau harus tetap bangun dan menunaikan salat subuh). Jika sugesti sudah berlaku demikiaan, maka tidak ada yang mesti dilakukan kecuali mengikutinya.
Hari ini bangun pagi pertamaku di pulau Flores dengan kondisi fisik yang cukup bugar didukung dengan udara yang segar. Aku pun memberanikan diri untuk keluar, melihat suasana sekitar yang tadi malam tidak sempat terekam karena matahari sudah keperaduan. Berjalan berkeliling Santa Clause, melihat bukit yang berdiri dengan kokohnya mengitari perkampungan sebelah timur bangunan Santa Clause. Sejuk dihati...sejuk dimata...sejuk dalam rasaku.
Aktivitas merangkak naik menunjukkan bahwa ia penting dalam kehidupan. Para pendidik mulai menyantap hidangan yang telah disediakan. Tak pelak setelah itu kami mulai memikirkan apa langkah selanjutnya setelah ini, apa yang akan pendidik lakukan pertama kali setelah menginjakkan kaki di bumi flores ini. Bertanya, berkenal, berdiskusi dengan pendidik  lain, yang notabene berasal dari daerah berbeda. Sungguh syahdu...
Menjelang tengah hari sebagian pendidik berinisiatif ke kota, semata-mata untuk melihat kondisi kota yang sebenarnya. Senang rasanya pergi pesiar bersama. Membeli ini, itu dengan perbandingan harga yang lumayan. Tempat pertama yang kami kunjungi adalah masjid di daerah kota. Subhanallah...meski belum lama meninggalkan masjid di pulau jawa, tetapi melihat masjid di pulau flores merupakan anugerah terindah yang pernah kunikmati. Tiba di depan gerbang masjid, kami disambut oleh lelaki setengah baya yang merupakan takmir masjid itu. Tidak disangka-sangka takmir tersebut berasal dari suku jawa yang juga merupakan pendatang seperti kami. Kembali hati kami mencelos mendapatkan fakta bahwa suku jawa masih banyak berkeliaran di daratan flores khususnya di kota ini.
            Setelah pertanyaan tentang bagaimana kondisi kota terjawab, kami memutuskan untuk kembali ke desa Cancar kompleks Santa Clause dimana kami penginap. Rasa lelah menggelayuti namun hati tetap senang. Tak terasa kabut mulai turun menutupi sebagian perbukitan yang menjadi latar belakang gedung Santa Clause. Lembab.

Jumat, 16 Desember 2011
Pukul 03.00 WITA aku sudah berbegas bangun pagi untuk merapikan barang-barang karena pukul 09.00 pagi nanti, aku bersama pendidik bangsa lainnya harus sudah berada di Dinas PPO (Pendidikan Pemuda dan Olahraga) kabupaten Manggarai untuk mengikuti ritual penerimaan pendidik bangsa.  Perjalanan menuju PPO dari Santa Clause kurang lebih 45 menit menggunakan angkutan umum. Sebanyak 16 armada mengangkut pendidik bangsa dilengkapi dengan koper-koper besar sebagai atributnya. Perjalanan ini merupakan perjalanan keduaku ke Ruteng (ibu kota Manggarai) jadi aku tidak lagi merasa asing seperti yang dialami oleh pendidik bangsa lain.
Tak lebih dari satu jam aku tiba di PPO. Disana aku mengelurakan barang-barang dari atas bemo (angkutan kota) lalu meletakkannya di tempat yang aman. Baru setelah itu aku memasuki aula PPO, tetapi sebelum itu aku disuguhi oleh beberapa carik kertas yang ditempel di papan pengumuman yang berisi sekolah mana yang nantinya akan maju bersamaku. Dengan penuh sesak aku mencoba menerobos kerumunan orang, ingin sama-sama mengetahui bagaimana nasibku nanti. Mencari nama SANDRA NOVITA SARI diantara nama-nama yang lain agak sulit, sampai akhirnya ada yang berkata “San kamu dapat di SMK N 1 Wae Ri’i” Sontak aku menengok padanya “Mana?” jawabku penasaran. Temanku menunjukkan jarinya ke namaku. Ya...aku mendapat sekolah SMK. Sekolah yang belum pernah aku sentuh. Berbagai macam reaksi muncul dari pendidik bangsa, ada yang diam saja, ada yang menangis terharu karena mendapatkan sekolah di pinggir kota, ada yang menangis karena mendapat sekolah di pedalaman, ada yang menangis karena berpisah dari teman karibnya, ada yang tersenyum riang, dan ada yang datar saja alias tanpa ekspresi. Semua dikemas dalam suasana haru.
Pukul 09.00 WITA, upacara penyambutan pendidik bangsa dimulai. Kurang lebih 2 jam prosesi berlangsung dengan  dibubuhi satu tradisi unik yakni pemberian sarung adat kepada pimpinan UNNES sebagai simbol penerimaan 91 orang pendidik bangsa di kabupaten Manggarai yang tersebar di 8 kecamatan diantaranya kecamatan Ruteng Rentung, Lelak, Satarmese, Satarmese Barat, Wae Ri’i, Cibal, Reok dan Rahong utara. Usai prosesi penerimaan, masing-masing pendidik bangsa berhambur menuju kepala sekolah masing-masing. Hanya satu kecamatan yang tidak dijemput oleh kepala sekolah yaitu kecamatan Wae Ri’i. Kecamatanku. Ditengah hiruk pikuk yang terjadi di aula PPO tiba-tiba seorang staf kurikulum PPO mendekati kami (aku, Rinno, Mansur, dan Aran) kawan satu kecamatanku. “Sudah datangkah kepseknya?” katanya. “Belum Bapak”jawabku. “Oh...tunggu dulu sebentar e” katanya meredamkan kegalauan kami. Baru sadar juga kalau hari ini jumat. Banyak pendidik bangsa yang tidak salat jumat karena sudah dijemput kepala sekolah yang berasal dari daerah pelosok. Mereka seperti mengejar waktu, karena siang sedikit oto menuju desa mereka sudah tidak ada. Maklum juga di sini mayoritas katolik, jadi tidak ada salat jumat. Satu persatu pendidik bangsa berangkat menuju desa pengabdiannya, hingga pada akhirnya hanya kecamatanku saja yang masih ada di PPO. Tidak disangka juga masih ada seorang pendidik bangsa yang tertinggal oleh rekan satu kecamtannya. Tak pelak aku langsung mengajaknya untuk bergabung dengan kecamatanku sembari menunggu teman-teman satu kecamatanku yang sedang mengikuti ritual satu mingguan yakni jumatan.Pak Sony memang baik hati” kataku dalam hati. Tak bisa membayangkan jika nasibku seperti Mbak Satarmese (begitu kami menyebutnya) karena ia mendapatkan daerah pelosok bernama Satarmese. Akhirnya kami bermalam di rumah staf kurikulum itu. Di sana aku mendapatkan keluarga baru bernama Nana Nober*, kakak Oci, kakak Evi, kakak Elsi, dan mama Natalia. Mereka sungguh ramah, padahal baru bertemu dan sudah dianggap keluarga. Kami berbincang-bincang, saling mempelajari bahasa dari daerah masing-masing. Unik, aneh, lucu...itu komentarku begitu mendengar bahasa mereka, begitupun mereka. Senang...

Sabtu, 17 Desember 2011
Pagi-pagi sekali kami sudah diburu waktu menuju dinas PPO karena Mbak Satarmese akan segera menuju ke Satarmese. Tanpa basa-basi lagi kami langsung berpamitan kepada keluarga Pak Sony. Pagi itu menjadi pagi yang menyedihkan. Mengapa demikian? Karena baru saja kami mendapatkan keluarga yang baik, baru saja mengecap indahnya komunikasi antar ras dan suku sudah berpisah lagi. Sembari kami mengantarkan Mbak Satarmese, kami juga akan menuju rumah saudara Pak Sony yang akan kami tinggali di daerah Kumba.
Setibanya di rumah itu, kami langsung membawa masuk koper-koper berat kami yang menyusahkan. Rumah itu cukup besar untuk ditinggali 4 orang. Ada ruang tamu, ruang keluarga, 3 kamar tidur, dapur, dua kamar mandi. Sangat luas menurut kami, kalau boleh mengandaikan rumah ini bisa digunakan untuk bermain bola. Hanya saja perabotannya kurang, sehingga kami harus membeli beberapa barang lagi untuk memenuhi sudut rumah. Ditengah perjalanan menuju pasar, kami menyempatkan diri untuk singgah di Hotel Manggarai karena ada sebagian pendidik bangsa yang masih terdampar di sana. Mereka bertugas di kecamatan Ruteng-Rentung. Sebuah kecamatan yang tidak jauh dari kota.  Senang sekali bertemu dengan teman seperjuangan, tak pelak kamipun bercerita tentang nasib masing-masing. Sekarang tinggal dimana, airnya bagaimana, listrik ada atau tidak. Ternyata nasib kami tidak jauh berbeda. Masing-masing masih ditelantarkan oleh kepala sekolah. Akhirnya aku mengajak mereka untuk tinggal bersamaku di daerah Kumba. Tetapi sebelum itu kami pergi pesiar ke pasar Ruteng. Ramai sekali, dua kecamatan berkumpul jadi satu menambah semarak belanja pada waktu itu.

Minggu, 18 Desember
Kontrakanku akhirnya dipadati oleh pendidik bangsa. Kebetulan hari ini pendidik bangsa dari kecamatan Ruteng Rentung ingin survei melihat kondisi sekolah yang nantinya akan menjadi tempat juang mereka. Aku bersama teman-teman sekecamatanku juga berencana demikian. Akhirnya satu bemo (angkutan umum) kami carter bersama teman  sekecamatan Ruteng. Agenda pertama kami mengunjungi SMP Negeri 1 Ruteng. Kondisinya lumayan, berada di dataran rendah dikelilingi persawahan. Kami hanya bisa bertemu dengan penjaga sekolahnya bernama Pak Domi. Beliau sangat ramah dan menyambut kami begitu baik. Empat orang pendidik bangsa langsung bertanya mengenai sekolah dan tempat tinggal mereka nantinya. Setelah puas melihat-lihat dan bertanya, kami pun melanjutkan perjalanan menuju SMP N 8 Ruteng. Kondisinya lebih parah dibandingkan SMP N 1. Sekolah ini merupakan sekolah Satap. Satu gedung sekolah digunakan untuk SD Katolik dan SMP. Kondisinya masih dalam perbaikan. Tujuan kami yang terakhir sebenarnya menuju kecamatan Wae Ri’i, namun ketika perjalanan menuju SMP N 8 Ruteng kondisi hujan sehingga banyak memakan waktu dan nampaknya para pendidik bangsa sudah mulai kelelahan sehingga kami memutuskan tujuan terakhir adalah SMP N 7 Ruteng. SMP ini adalah SMP yang paling jauh letaknya dibandingkan dengan SMP yang kami kunjungi hari ini. Letaknya  sedikit lebih tinggi, dengan kondisi bangunan yang baik. Beruntung sekali pendidik muda yang ditempatkan di sana, wajar memang karena ia satu-satunya guru perempuan yang berjuang di sana, Bu Ina namanya.

Senin, 19 Desember 2011
Rencana hari ini, menyambung hari kemarin yaitu menuju Kecamatan Wae Ri’i. Pada awalnya teman-teman yang berjuang di kecamatan Ruteng akan mengantarkanku melihat kondisi sekolah, tetapi sayangnya mereka harus mencari kontrakan di kecamatan mereka sendiri, akhirnya kami berpisah. Aku bersama ketiga temanku Aran, Mansur, dan Rinno akan menuju kecamatan Wae Ri’i hari ini. Tetapi tiba-tiba salah satu pendidik bangsa dari kecamatan Cibal menghubungiku “Ada teman yang di Ruteng nggak? Aku butuh bantuan!” katanya lewat pesan singkat. Aku tidak membalasnya, melainkan langsung menekan Call untuk menghubunginya.
Afrian namanya. Kasihan ternyata dia tidak membawa dompet ketika berbelanja ke Ruteng. Pendidik asal kecamatan Cibal ini mengikuti kepala sekolahnya ke kota dengan menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam. Namun sayang, dia tidak membawa dompet, makanya dia mencari bantuan. Aku langsung menuju pasar menemui Frian, kami menuju ATM BNI untuk mengambil uang dan aku membantunya untuk belanja karena tidak mungkin ia berbelanja sendirian. Usai berbelanja, ia mengajakku makan bakso. “Alhamdulillah, ini makanan terenak yang aku makan selama aku di Cibal” aku pun terharu mendengarnya. Ternyata nasibku jauh lebih baik darinya. Usai makan, ia berpamitan karena sudah ditunggu oleh kepala sekolahnya “ Makasih San, aku tidak bisa membayangkan kalau tidak ada kamu” katanya. Aku terharu, senang rasanya membantu teman.
Perjalanan menuju Wae Rii dimulai. Aku bersama tiga pendidik lain menyewa bemo untuk mengantar kami kesana. Namun sayang ketika berangkat, kami nyasar, supir bemo yang mengantar kami ternyata juga tidak mengetahui persis dimana kecamatan Wae Rii itu berada. Sungguh malang Rp 5000 melayang. Kami lalu mencari bemo yang lain, setelah bernego masalah harga, ditemukanlah harga kesepakatan yakni Rp 10.000 per orang pulang pergi. Hemmm...bayangan kami tentang kecamatan Wae Rii masih melayang dan semakin menjadi-jadi. Ditengah perjalanan kami melihat kanan kiri...”Wah ternyata sama saja dengan kecamatan yang lain, Gunung, lembah, dan bukit” kataku tak berdaya. Teman yang lain hanya tersenyum simpul, entah senang, atau bahkan mengeluh dalam hati, entahlah lelaki kebanyakan hanya diam dan jarang menunjukkan perasaan mereka yang sebanarnya. Tiba di sana aku bertanya kepada dua anak laki-laki yang masih memakai seragam sekolah. “Ini SMK N 1 Wae Rii ya?”. Mereka menjawab “ iya”, sembari berjalan. “Terima kasih nana (sebutan untuk anak laki-laki di Manggarai)”. “Ome toe molas ibu gurunya, hami toe wale rei na”, jawab mereka. Aku tidak paham dengan kata-kata mereka, lalu salah satu temanku yang berasal dari Manggari Barat bernama Mansur menerjemahkan kalimat itu yang artinya “Kalau tidak cantik ibu gurunya, tidak saya jawab pertanyaannya” Hemm sontak aku tersenyum dan bergumam sendiri mendengarnya.
Sekolah dimana aku mengajar bernama SMK N 1 Wae Rii. Sebuah SMK yang berada di atas bukit, dikelilingi lembah, dan dilatarbelakangi anak gunung Ranaka yang berstatus aktif. Beberapa bulan yang lalu, anakan Gunung Ranaka sempat di kabarkan akan meletus. Aku tidak bisa membayangkan sekolahku berada di jalur lahar. Listrik belum masuk, sehingga jika guru ingin melakukan KBM yang berkaitan dengan listrik harus menghidupkan Jenset terlebih dahulu, dan itupun tidak selalu bisa digunakan karena kondisi jensetnya sudah mengenaskan. Air untuk Praktik juga tidak ada, sehingga para guru sengaja membeli air dari kota. Sungguh tragis nasib sekolah ini. Itulah alasan mengapa aku dan teman-temanku tetap bertahan dikota meski jarak yang ditempuh tidak dekat dan biaya yang dikeluarkan tidak sedikit untuk satu kali membayar bemo.

Selasa, 20 Desember 2011
Mano...Manggarai Timur. Hari ini aku mencapainya selama 45 menit. Aku pergi mengunjungi saudara temanku Mansur yang sudah lama tidak ia kunjungi. Ketika berangkat Bang Mansur berkata “Mano itu dekat kok, paling Cuma 15 menit” aku dan Mbak Ning hanya percaya saja karena kami tidak mempunyai gambaran apapun tentang desa yang bernama Mano itu. Tak berapa lama bemo meluncur membelah jalan yang berkelok, seperti biasa pemandangan yang muncul di kanan kiri adalah gunung dan jurang. Memang kontur daerah Manggarai kebanyakan pegunungan, bukit, gunung, lembah, dan jurang. Pada titik-titik tertentu kami sering menemui longsor yang menutupi ruas jalan. Aku pun tidak bisa diam melihat hal itu, kamera yang tadinya bersembunyi di tas aku keluarkan dan langsung kugunakan untuk merekan kejadian yang menurutku unik dan jarang terjadi.
“Wah Bang Mansur bohong...katanya Cuma 15 menit, ternyata 45 menit. Mana udah masuk Manggarai Timur lagi. Dekat apanya?” celotehku ketika tiba di Mano. Hahaha...aku tertipu lagi. “Sudahlah yang penting sudah sampai” kata Mbak Ning, meredam. Sambutan hangat kembali aku dapatkan dari keluarga muslim asal Manggarai Barat ini. Setiap bertamu pasti disuguhi makan, memang tradisi orang Manggarai seperti ini. Setelah lama bercakap, kami undur diri pulang menuju Ruteng.

Rabu, 21 Desember 2011
Tidur...tidak banyak aktivitas yang dilakukan hari ini. Sepanjang hari selalu tidur dan tidur. Hari ini terasa begitu panas, dan malas selalu menggelayuti bagai beban yang beratnya mencapai 100 ton dipundak.

Kamis, 22 Desember 2011
Pagi-pagi sekali kami sudah mengantri kamar mandi. Aku, Mansur, dan Rinno akan pergi ke sekolah untuk pertama kali setelah survei kemarin. Tiba-tiba ada sms masuk yang berbunyi “Nanti pake jaket SM-3T ya, biar kompak”. Sms tersebut berasal dari pendidik bangsa yang berasal dari Universitas Negeri Malang. Pendidik bangsa yang mengabdi di SMK N1 Wae Rii berjumlah 8 orang. 3 Orang dari Universitas Negeri Semarang dan 5 orang berasal dari Universitas Negeri Malang. Selama 8 bulan kami akan menjadi satu keluarga bersatu memajukan SMK N 1 Wae Rii.
Pagi hari bemo tidak kunjung ada, kami terpaksa menggunakan jasa ojek untuk menempuh jalan ular yang tiada berujung. Aku merogoh kocek sebesar Rp 10.000,00 untuk bisa sampai ke sekolah. Tiba di sekolah kami disambut oleh siswa-siswi SMK yang sebentar lagi akan menerima rapot akhir semester. “Selamat pagi Bu, selamat pagi Pak!” Sapa mereka dengan senyum ramah. Aku pun membalasnya dengan “Pagi”, senyum ramah tersembul dari bibirku terlihat agak aneh dan sedikit dipaksakan. Suasana masih sepi, Bapak dan Ibu guru lain belum terlihat batang hidungnya. Hanya kami guru SM-3T yang sudah bersiap untuk disambut dengan berdiri karena ruang guru masih ditata oleh penjaga sekolah. Lama kami menunggu akhirnya acara Lepas-Sambut dimulai juga. Kepala Sekolah sengaja membuat acara ini karena disamping menyambut kami, guru-guru baru, ternyata sekolah juga akan melepas seorang guru untuk ke Jakarta. Satu per satu guru baru mulai memperkenalkan diri dengan gaya masing-masing dan cukup kocak. Suasana menjadi semakin hangat dengan kata-kata perpisahan dari ibu guru yang mau pindah. Acara diakhiri dengan makan bersama, sayang sekali aku dan Mansur tidak bisa menikmati hidangan yang tersedia karena sedang menjalankan puasa sunnah senin-kamis.
Usai sudah acara penyambutan guru muda. Kami langsung berkonsultasi dengan guru-guru pamong mengenai perangkat pembelajaran yang akan digunakan selama kurang lebih 8 bulan kedepan.  Untuk mencapai kontarakan kami harus jalan 12 km, sembari menunggu bemo. Bersama teman-teman dari Universitas Negeri Malang, kami membelah jalan ular pada siang terik. Ditengah keputusasaan tidak mendapat bemo, tiba-tiba dari arah belakang kami meluncurlah sebuah bemo yang akhirnya menyelamatkan kami. 
Pukul 18.30 WITA
“Selamat berbuka puasa”, kata teman-temanku. Senang sekali bisa menaklukan hari ini dengan puasa. Aku bersama Mbak Ina dan Mbak Ning  berbuka puasa bersama di warung belakang masjid. Sengaja kami pergi ke kota untuk mencari hidangan yang sedikit pantas untuk disantap saat berbuka. Sebelum itu, kami membeli makanan ringan untuk persediaan di rumah kontrakan. Disaat adzan magrib berkumandang, saat itu pula Ruteng dilanda angin ribut. Suasana hiruk pikuk di pasar, kini terlihat di kota. Satu persatu pohon mulai tumbang, atap seng beterbangan dan banyak tiang listrik yang rubuh. Pada saat yang bersamaan listrik padam, menambah suasana mencekam. Angin sepertinya ingin melahap setiap manusia yang dilaluinya. Usai menyatap hidangan buka puasa, kami cepat-cepat beranjak dari tempat itu untuk menuju rumah dan mencari bemo. Malam gelap dan dingin disertai angin yang terus menderu, kami berjalan dalam keadaan gelap gulita sambil mata melirik ke semua arah kalau-kalau ada kayu terbang yang mampir ke kepala. Perasaan takut terus mampir kebilik hatiku, kedua temanku terus saja mengeluh takut, takut, dan takut. Tapi aku mencoba meredamnya dengan berkata “sudah nggak apa-apa, cepat jalan saja”.
Setelah berjalan dengan payah dan berusaha mengalahkan rasa takut, kami melihat bemo dan langsung membawa kami ke rumah. Tiba depan di rumah, kami berlari membabi buta ditengah kegelapan total. Hanya satu yang kami inginkan yakni perlindungan. Tetapi tangan kami sudah berkali-kali mengetuk daun pintu dan hasilnya nihil, tidak ada jawaban. Sontak ketika itu kami menyerah dan langsung tersungkur di depan pintu. Ingin rasanya menumpahkan tangisan, namun hatiku tersedak hingga tak ada setetes air pun yang keluar. Ditengah kekalutan yang melanda, tiba-tiba daun pintu bergerak dan pintu terbuka disertai tawa penuh teman-temanku. Sial...mereka sengaja mempermainkan kami, jengkel...!

Jumat, 23 Desember 2011
Jumat sendu, kataku. Mengapa demikian? Karena aku menerima beberapa SMS dari teman dekatku yakni Cik Gu (Pendidik asal kecamatan Reok) dan Pipop (Pendidik asal kecamatan Satarmese Barat). Mereka mengirim kabar bahwa hari ini akan menuju kota. Senang sekali rasanya hati ini mendengar hal itu, karena kurang lebih dua minggu tidak bersua. Setelah menunggu dan menunggu aku mendapat SMS dari Cik Gu yang berbunyi “San Sorry, aku nggak jadi ke Ruteng hari ini, mungkin minggu besok” melihat SMS yang berbunyi demikian hatiku mencelos tiba-tiba. Rasa jengkel menyeruak, ingin rasanya berteriak. Hemm...padahal aku sudah senang sekali. Selang waktu berlalu, ditengah kekecewaan yang masih melanda hati aku mendapat SMS dari Pipop “ Aku dilema nih, Aku kesini sama teman-temanku dan diajak nginep di rumah kepala sekolahnya”. Dongkol hati tak terbendung lagi, lalu kubalas SMSnya “Terserahlah”. Hatiku sekarang sedang sulit diajak damai. Biar...
Aku masih menulis hingga pukul 13.00 WITA, kejengkelanku akhirnya terkubur dengan aktivitas itu. Jumatan sudah selesai, aku memutuskan untuk salat dhuhur tetapi tidak ada air di rumah, aku lalu memutuskan untuk ke masjid. “Di Masjid juga tidak ada air”  kata Bang Mansur yang saat itu baru pulang Jumatan. Mbak Ning mengajakku untuk wudlu dan salat di rumah penduduk sekitar. Ketika akan berangkat tiba-tiba di depan rumah banyak sekali rombongan Pendidik Bangsa yang berencana main ke kontrakan usai salat jumat, salah satunya ada wajah yang tidak asing yakni Pipop. (Hemm sial...tenyata temanku ini memberi kejutan) kataku dalam hati. Aku langsung menyambut mereka dan mempersilahkan masuk sembari aku pamit untuk salat dhuhur.
Usai salat, aku langsung izin ke Mbak Ning dan Mbak Ina untuk tidak ikut belanja karena ingin menemui temanku Pipop yang sudah menunggu di rumah. Jauh-jauh dari desa Borik Satarmese barat, tidak sopan rasanya untuk menyepelekannya karena jarak yang ditempuh tidak dekat. Setibanya di rumah aku langsung berbincang dengannya, rasanya seperti lama tidak bertemu, padahal baru dua minggu kami di lepas ke sekolah pengabdian masing-masing. Mungkin karena pengaruh jarak yang jauh, serta akses kendaraan yang terbatas menjadikan kami seperti itu. Sudahlah, yang jelas hari ini aku harus menjadi tuan rumah yang baik, melayani teman-teman Pendidik Bangsa yang singgah di rumah.

Sabtu, 24 Desember 2011
Pagi hari ketika jam sudah menunjukkan jam kerja aku bergegas untuk menuju Ke dinas PPO untuk meminjam aula yang nantinya akan dipergunakan pada acara Rapat koordinasi perdana SM-3T UNNES. Sebelum pergi kami sempat berpesan kepada Aran dan Bang Rinno untuk memasak nasi. “Pokoknya kami pulang harus sudah ada nasi di meja, gimana caranya anak laki-laki harus memasak” kata Mbak Ina dengan gaya judesnya. Aran dan Bang Rinno hanya tersenyum kecut mendengarnya.
Aku pergi ditemani oleh Mbak Ina dan Mbak Ning, berjalan dari Kumba (daerah dimana kontrakan kami berada) sampai ke Dinas PPO. Awalnya kami tidak tahu harus menemui siapa, maklumlah orang baru biasanya harus beradaptasi terlebih dulu untuk mengetahui birokrasi di tempat yang baru. Akhirnya setelah lama celingukan* kanan kiri, kami dihampiri oleh salah satu staf bagian kepegawaian bernama Pak Hendrik. “Ada perlu apa Ibu?” begitu sapanya. “Kami ingin meminjam aula untuk rapat koordinasi perdana SM-3T UNNES Pak” jawabku spontan. “Oh silahkan saja menemui Pak Ande dibagian staf umum” lanjutnya. Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun langsung menuju ruang staf umum dan bertemu dengan Pak Ande sembari menjelaskan maksud kedatanganku ke sana. Dari pihak PPO menuntut adanya surat peminjaman tempat, sedangkan aku tidak membawa surat apapun karena struktur saja belum terbentuk dan kami juga belum mempunyai stempel. Maka aku menjelaskan agar Pak Ande memahami situasi yang ada sekarang. Akhirnya setelah bernegosiasi aula berhasil dipinjam dalam satu hari dengan syarat kami yang membersihkan sendiri. Tidak masalah bagi kami asal tempat sudah ditangan. Setelah itu kami pun berpamitan kepada staf-staf PPO dan langsung menuju toko Buku Airlangga.
Entah alasan apa yang tepat kami lontarkan. Apakah ingin jalan-jalan saja, ataukah hanya ingin mengirit uang Rp 2000,00 sehingga kembali kami berjalan kaki dari dinas PPO menuju komplek pertokoan. Haha...mungkin alasan yang kedua yang lebih tepat kami jadikan dalih untuk berkelit. Maklumlah, setiap hari kami sudah sangat sering naik bemo, mungkin untuk saat ini rehat dulu, setidaknya bisa menikmati suasana kota Ruteng di pagi hari. Sambil bercanda sepanjang perjalanan tak terasa kami tiba di depan toko buku, hanya saja nasib kami kurang baik. Toko bukunya tutup dan kami harus pulang dengan tangan kosong.
Setibanya di rumah kami kedatangan tamu dari Lelak dan Satarmese Barat, ramai sekali. Ternyata teman pendidik bangsa dari Lelak hanya singgah saja, mereka sudah mempunyai tempat tinggal sementara yakni di daerah Kodim. Pendidik bangsa asal Satarmese Barat tak lain adalah Pipop temanku yang kembali lagi untuk berlibur. Waktu habis dengan perbincangan tiada ujung antar pendidik bangsa satu dengan yang lain. Masing-masing bercerita tentang perjuangan di daerah asal. Haru dan membakar semangat.

Minggu, 25 Desember 2011
Hari ini hari Natal...suasana berbeda namun khas terlihat di seantero Kota Ruteng. Mungkin tidak hanya di Kota Ruteng saja melainkan hampir seluruh daratan Flores terlihat semarak natal. Aku melihat disetiap rumah terdapat spanduk yang bertuliskan “Marry Christmas and Happy New Year” lengkap dengan lampu warna-warni yang dihias sedemikian rupa. Di depan rumah juga terdapat replika gubuk tempat Yesus dilahirkan. Pohon natal juga tersebar di halaman rumah sampai pinggiran jalan. Setiap 200 m terdapat gubuk-gubuk khas natal yang dilengkapi dengan lampu dan sound system. Wah sungguh luar biasa kota Ruteng ini, kembang api pun mengambil bagian dalam perayaan natal. Sungguh diluar dugaan, berbeda sekali dengan di Jawa. Gereja-gereja dan Katedral selalu membunyikan lonceng raksasanya untuk memanggil jemaatnya. Aku hanya tertegun saja melihatnya.
Dalam waktu sehari ini, yang kami lakukan hanya di dalam rumah sembari memasak apa yang bisa di makan karena sebagian besar umat Katolik sedang melakukan ritual natal di gereja. Suasana kota menjadi hening seketika. Toko-toko dan pasar tutup, bemo yang biasa sering melintas, hari ini pun tidak ada. Mungkin dalam satu hari ini dan besok tidak ada bemo, tetapi tidak lama kemudian suasana menjadi riuh karena banyak pemuda yang memadati gubuk di depan rumah, mungkin ritual gereja telah usai hingga disambung dengan minum dan triping. Hehe...semacam budaya mungkin, sudahlah kami hanya bisa melihat saja.

Senin, 26 Desember 2011
Puasa sunnah hari Senin. Ya inilah ritual rutin yang sering aku jalankan dengan beberapa alasan. Disamping menjalankan sunnah rasul, aku juga sering menggabungkan niat dengan puasa ramadhan, lumayan satu kali mendayung dua tiga pulau terlampaui. Tidak dipungkiri dengan puasa sunnah aku bisa sedikit mengirit biaya makan, hehe... Aku lalu menawarkan kepada pendidik bangsa yang lain untuk berpuasa, dan ternyata tawaranku disambut dengan baik. Akhirnya kami sepakat berpuasa, kecuali Bang Rinno. Alarm fajar sudah berbunyi, tetapi aku terus saja masyuk asyik ke dalam mimpi yang membuai hingga jam sudah menunjukkan pukul 04.00 WITA. Setengah jam lagi subuh, tidak mungkin dalam waktu setengah jam aku bisa membuat hidangan sahur dengan porsi besar. Akhirnya aku hanya minum air, dan teman-teman tetap pada mimpinya.
Waktu berjalan cukup cepat dengan serentetan aktivitas asik yang kulakukan hingga tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WITA. Setengah jam lagi kami harus menuju dinas PPO untuk membersihkan aula. Sebelum berangkat, tidak lupa kami salat ashar berjamaah. Sungguh tentram rasanya hati ini karena baru merasakan menjadi kaum minoritas di sini. Usai salat ashar kami langsung menuju dinas PPO dengan berjalan kaki sembari menikmati suasana sore bersama pendidik bangsa.
Telephone genggamku berbunyi...ketika kulihat nama yang ada dilayar Hpku tertulis Pak Ande, salah satu staf dinas PPO yang bersedia mendampingi kami dalam membersihkan aula. Aku langsung menekan tombol Ok dan mulai bercakap dengan Pak Ande. Ternyata beliau sudah tiba di dinas dan sedang menunggu kedatangan kami. Aku lalu bergegas menuju dinas setengah lari bersama Mbak Ina. Sampai dinas aku langsung disodori beberapa sapu. “Halo ibu, ini sapunya silahkan langsung naik ke atas” katanya. “Jiahhh...gubrak” jawabku sambil tersenyum. Aktivitas bersih-bersih pun dimulai, kurang lebih satu setengah jam kami berhasil menata aula sehingga menjadi layak digunakan. “Akhirnya selesai juga” kata Pipop. “Ayo kita ngabuburit ke alun-alun” seru Mbak Endah (Pengajar asal Kec Satarmese). “Yuuukkkk” jawab kami serentak.
            Asiknya berbuka puasa bersama teman-teman di Kota Ruteng. Warung di belakang masjid Jihadul Ukhro menjadi pilihan kami untuk berbuka. Aku memesan bakso urat dengan sepiring nasi, sungguh nikmat sekali makanan ini (pujiku dalam hati). Usai berbuka tak lupa kami menunaikan salat magrib dan pulang. Sesampai di rumah kami tidak langsung masuk, melainkan harus melanjutkan perjalanan untuk bersilaturahmi ke rumah kak Evry. Kak Evry adalah ibu pemilik rumah yang kami tinggali sekarang, tujuan kami adalah memenuhi undangan dalam rangka hari natal karena beliau berbeda keyakinan dengan kami.

Selasa, 27 Desember 2011
Rapat koordinasi perdana SM-3T UNNES di mulai hari ini. Segala persiapan telah selesai, Aku bersama teman-teman menuju dinas PPO pada jam 08.00 WITA karena harus mempersiapkan segala sesuatunya sembari menunggu pendidik bangsa dari 7 kecamatan lain. Rapat kali ini di buka oleh Kepala Dinas Kab. Manggarai. Rapat berjalan dengan lancar sampai pukul 15.00 WITA. Hasil rapat hari ini memutuskan bahwa Koordinator Kabupaten Manggarai terpilih adalah Mansur disamping itu program-program yang nantinya akan dilaksanakan selama 10 bulan ke depan juga sudah dirancang dan dimatangkan sewaktu rapat. Lunas sudah kegiatan hari ini, usai rapat kami membersihkan aula sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Pak Ande. Dilanjutkan makan bersama di warung Mie Ayam. Sungguh pemandangan yang jarang sekali terjadi, karena kami bisa berkumpul bersama padahal jarak penugasan kami tidak dekat.

Rabu, 28 Desember 2011
Hari ini banyak sekali pendidik bangsa yang berpamitan pulang menuju daerah tugas masing-masing. Rahong utara, Reok, Cibal, Satarmese dan Satarmese Barat yang terakhir meninggalkan Ruteng. Sedih rasanya berpisah dengan rekan-rekan seperjuangan. Hati-hati di jalan, selamat berjuang, dan selamat bertemu kembali.

Kamis 29 Desember 2011
Lembor adalah sebuah kecamatan yang terletak di Manggarai Barat. Hari ini kami mengunjungi tempat itu untuk bersilaturahmi dengan salah satu keluarga pendidik bangsa asal Manggarai Barat, Mansur. Kedatangan kami bertepatan dengan pesta pernikahan sepupu Mansur sehingga kami harus menghadiri resepsi pernikahan juga. Sambutan yang diberikan dari keluarga mempelai sungguh luar biasa. Pesta pernikahan adat setempat sangat sederhana. Tidak ada  tratak, tidak ada padi-padi, tidak ada baju pengantin, semua terbungkus dalam kesederhanaan. Dalam pesta itu, terlihat terpal melindungi tamu undangan dari panasnya sinar matahari, kedua memperlai hanya menggunakan kebaya biasa tanpa manik-manik atau monte yang biasa dipakai pengantin untuk memberikan kesan glamor. Padi-padi berganti wajah dengan selembar tulisan yang berbunyi mohon doa restu. Terus terang, aku baru saja melihat pesta pernikahan yang begitu sederhana di desa Siru ini. Jauh dalam lubuk hatiku bertanya-tanya, apakah memang begini adat setempat yang berlaku, atau keluarga mempelai tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai pesta penikahan yang agung. Entahlah, hanya bertanya-tanya dalam hati saja.
Usai menghadiri pesta penikahan, sebenarnya kami mempunyai acara yang sudah dirancang dari sebelum berangkat, yakni pergi ke pantai. Namun lagi-lagi acara batal karena senja telah datang sementara jarak antara rumah Mansur sampai ke pantai cukup jauh, maka kami terpaksa beralih ke kali dekat rumah Mansur. “Tiada pantai, kali pun jadi” kataku. Kami langsung menuju ke kali saat itu juga. Jalan menuju ke kali sangat curam dan masih banyak batu-batu terjal. Kayu-kayu runcing terlihat disepanjang jalan itu. Tiba-tiba cuaca berubah mendung, membuat kami berpikir ulang untuk menuju ke kali. “Maju atau mundur ini?” teriak Mansur dari kejauhan. Kami menjawab serentak “Maju!”. Tanpa berpikir panjang kami melanjutkan perjalanan dan akhirnya berhasil mencapai bibir sungai. Ketika itu kami masih memakai baju resmi untuk menghadiri resepsi, Mansur juga masih memakai sepatu pantofel tiba-tiba turun hujan deras saat itu. Belum sempat kami mengabadikan dalam kamera, kami sudah berhambur mencari tempat berteduh. Ada yang langsung lari naik ke atas, ada yang berteduh di bawah pohon jati, dan ada yang tetap berjalan dengan menggunakan sehelai daun jati untuk melindungi kepala. Sementara aku masih berusaha mengabadikan moment itu dengan kamera HP. Hujan yang sungguh deras kataku, kami merasa geli melihat penampilan masing-masing dengan baju yang masih melekat, susah payah kami mempertahankan kekeringan baju, basah juga akhirnya.
Sesampai di atas, kami berebut meminjam sarung dari saudara Mansur karena kebanyakan dari kami tidak membawa pakaian ganti dari Ruteng. Pakaian tidak ada, sarung pun jadi. Pemandangan yang aneh tapi lucu kataku. Cuaca dingin ditemani dengan secangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng, sungguh kenikmatan ditengah kekosongan perut. Malam harinya kami disambut dengan hidangan lezat, hidangan langka, hidangan yang jarang sekali kami nikmati selama di Manggarai yakni Ayam. Mendengar menu malam ini adalah ayam, mata yang tadinya mengantuk akhirnya sadar juga. Kami menikmati hidangan dengan lahapnya sebelum tidur  lelap.
Jumat, 30 Desember 2011
Kami berpamitan kepada keluarga besar Mansur seraya berterima kasih atas kebaikan dan keramahan hatinya dalam menyambut kami. Mobil yang siap mengantarkan kami ke Ruteng sudah menunggu di luar. Dalam perjalanan menuju Ruteng, kami banyak singgah di berbagai tempat di Lembor. Semata-mata hanya untuk memenuhi kursi dalam mobil saja. Tiba di Ruteng siang hari, kondisi tubuh sudah sangat kelelahan. Semua pendidik bangsa juga kelaparan, maka kami memutuskan untuk membeli makan di luar, setelah itu kembali ke rumah sementara rekan-rekan putra menjalankan ibadah salat Jumat di masjid.
Hpku tiba-tiba berdering. Ternyata Pipop yang menelponku. Dia sengaja memberikan kabar kepadaku bahwa ia juga akan ikut serta merayakan tahun baru di pulau Mules. Senang sekali rasanya, sebentar lagi aku akan bertemu temanku.


0 komentar:

Posting Komentar