Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Minggu, 31 Oktober 2010

RESENSI BUKU: "Menyatukan Tiga Kepingan Bonang",

Judul : BONANG
Pengarang : Surahmat
Penerbit : Cipta Prima Nusantara
Tahun : 2009
Kota : Semarang
Tebal Halaman : 312

KENISCAYAAN dalam dunia literer, khususnya sastra, adalah pembagian tugas antara penulis dan pembaca. Pembaca bertugas mengkonstruksikan makna, setelah penulis selesai menyelesaikan tugas menghamburkannya. Relasi penulis dan pembaca dalam novel berjudul Bonang juga demikian. Sejumlah makna disajikan penulis secara berserakan, dan menuntut ketelatenan pembaca untuk merangkainya.
Novel Bonang bercerita tentang sebuah keluatga kecil yang bertahan hidup di tengah kemarau panjang pertengahan tahun 60-an. Empat anak dalam keluarga ini diberi nama persis dengan gamelan. Si sulung bernama Kendang, adiknya bernama Saron, Bonang, dan Gambang. Sejatinya, kepala keluarga ini mengidamkan lahirnya seorang bocah laki-laki lagi agar kemudian diberi nama Bagong dan Gong.
Meski hidup di desa, keluarga ini tak bisa menghindar ketika kisruh politik tahun 1965 mengemuka. Bahkan akibatnya dirasakan keluarga ini demikian parah, hingga pada akhirnya membuatnya berantakan.
Tiga Perspektif
Cerita pokok yang diungkap penulis dalam novel ini mencakup tiga aspek kehidupan, yakni agama, sosial, dan budaya. Semuanya tersusun secara resiprokal menjadi bagian yang saling menyokong. Fakta-fakta sosial diungkapkan melalui pendekatan budaya dan agama.
Pada aspek keagamaan penulis agaknya bersungguh-sungguh memberikan penekanan. Meski berusaha menghindari cap sebagai novel religius, konflik agama muncul dalam porsi yang dominan. Tidak semata-mata konflik antara penganut Islam dan golongan atheis, tapi juga hamba kepada Tuhan-nya. Sebab dalam konsep beragama yang berkembang masa itu, hubungan hamba dan Tuhan adalah pokok ajaran beragama.
Dominasi persoalan agama tidak hanya muncul menghiasi tarik ulur cerita. Sejak awal, bahkan melalui pengantarnya yang singkat, penulis menekankan ada masalah serius dalam kehidupan masyarakat beragama kita. Keimanan yang setengah-setengah pada akhirnya tidak akan membawa pencerahan. Keragu-raguan seorang pemeluk agama justru akan menjadi dilema, untuk tidak percaya atau iman secara total.
Tampaknya persoalan agama sengaja dimunculkan penulis sebagai satire terhadap kehidupan agama dewasa ini. Buktinya, meski diungkap dalam kerangka setting 60-an persoalan tersebut ternyata sangat mutakhir. Problem keyakinan masih bisa dijumpai saat ini, bahkan disekitar kita. Penyakit ragu-ragu dan mang-mang dalam beragama bisa jadi juga diidap oleh keluarga atau saudara-saudara kita.
Setelah persoalan agama, aspek yang mendapat porsi besar penceritaan adalah masalah sosial politik. Novel ini menuturkan secara detail bahwa kemiskinan memang bisa menjadi sumber persoalan. Tak hanya masalah keluarga, kemiskinan bisa memicu konflik antar kelas.
Bagi korban sekaligus pelaku, kemiskinan adalah bencana yang amat mengerikan. Karena dari situlah bencana-bencana yang lain kemudian muncul. Kemiskinanlah yang pada akhirnya merubah perangai manusia yang penuh budi menjadi makhluk beringas tanpa batas. Berawal dari kemiskinan seluruh potensi kriminal bermunculan.
Berlawanan dengan korban, bagi masyarakat kelas atas kemiskinan adalah kesempatan. Jika dikelola dengan baik, kemiskinan adalah sumber kekuatan yang luar biasa besar. Sebab, golongan miskin (yang sekaligus tidak cerdas) dapat digerakkan untuk komoditas tertentu. Mereka direkrut menjadi sukarelawan pergerakan atau anggota partai demi kekuatan politik tertentu.
Persoalan agama dan kemiskinan ternyata tidak cukup untuk meletakkan cerita dalam novel ini menjadi kerangka masalah yang utuh. Agar mampu melihat persoalan secara komprehensif diperlukan pemahaman budaya. Perspektif ini diperlukan mengingat tokoh dalam novel ini adalah kaum Jawa tanpa pemahami aspek budayanya tentu akan nihil.
Pembaca yang pemahaman budayanya kosong tentu akan sangat geram menyimak laku tokoh Ibu dalam cerita ini. Ia sudah tahu bahwa suaminya berselingkuh, tapi masih mencium tangan saat suaminya pulang. Ia tahu bahwa suaminya pernah meninggalkannya, tapi masih merawatnya ketika sakit. Bahkan dengan sigap ia memberanikan diri menjadi tulang punggung keluarga ketika sang suami sakit.
Sikap ini bisa dipahami dari perspektif Jawa. Sebab sang istri (garwa) dalam entitas kebudayaan Jawa adalah sigaring nyata, tindakan ini menjadi nalar. Bahkan sudah biasa. Di balik sikap sumeleh-nya, perempuan Jawa selalu bersikap cuncut tali wanda, yang dalam konsepsi Jawa diartikan sebagai tindakan siap bertanggung jawab mengambil alih komando keluarga.
Cerita Bonang sangat mengagumkan. Penulis, yang tak lain adalah mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNNES, memasukkan nilai edukasi dan history yang dikemas dalam bentuk cerita sehingga pembaca tidak merasa bahwa ia baru saja belajar tentang sejarah yaitu peristiwa G/30/S/PKI. Cerita yang menggunakan alur sorot balik ini begitu menggoda, penggunaan bahasa yang mudah dimengerti serta cerita yang tidak bertele-tele membuat pembaca tidak merasa jenuh, dan penulis berhasil menciptakan rasa penasaran kepada pembaca untuk segera menyelesaikan membaca buku ini. Sangat luar biasa, buku pendobrak peradaban.
Sayangnya, cerita yang bagus ini tidak diimbangi dengan editing yang baik pula. Sayang sekali buku ini masih banyak kesalahan dalam pengejaan dan terdapat halaman yang sama. Blunder yang fatal.
_Sandra Novita Sari, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNNES

Jumat, 29 Oktober 2010

Rumah “ITU” (Sebuah Refleksi) Oleh: Sandra Noryz*)

Rumah yang kemarin baru saja selesai dibangun dan mulai ditempati, kini tiba-tiba senyap.Ruangan di dalamnya mulai berdebu dan pengap karena jendela-jendela tempat masuknya angin sudah tertutup, pintunya pun terkunci rapat. Kemana gerangan pemilik rumah itu. Baru saja kemarin ada orang yang ingin menyambangi, dan berencana tinggal menetap di sana. Biasanya rumah itu sarat dengan suasana nyaman pun tenang. Jika pagi cahaya matahari bebas masuk dan keluar sesuka hatinya. Malam hari pun lampu akan menari dan tersenyum ramah kepada setiap mata yang melihat kearahnya. Tapi mengapa sekarang rumah itu dingin? Kemana dia? Sang pemilik rumah yang tiba-tiba menghilang meninggalkan rumah yang payah ia bangun selama beberapa bulan terakhir ini. Benar-benar aneh, rumah itu nyaris sempurna meski belum terisi oleh perkakas rumah tangga.
Rumah yang sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca itu, nampak indah jika ada cahaya yang memantul dipermukaan kaca, membuat kesan bahwa rumah itu benar-benar indah dan megah. Kenyataan itu bertolak belakang dengan pemiliknya, yang sederhana. Seorang pemuda yang sangat “khas” kataku. Rumah yang tengah berdiri itu tak pelak mengundang seorang peneliti. Peneliti yang penasaran karena keunikan bangunannya. Hingga suatu saat sang peneliti bertandang ke rumah itu, tetapi sayang pintu rumah tak menerimanya. Hari selanjutnya ia datang lagi, tetapi ia hanya mendapati hal yang sama, lalu ia datang dan datang lagi, nyaris tiap hari ia datang tapi tak ada hasil, sehingga ia memutuskan untuk tetap berdiam di depan rumah sampai pintu rumah terbuka dan tuan rumah mempersilahkan ia masuk dan bertanya tentang maksud kedatangannya.
Gayung pun bersambut, pintu kaca terbuka sang peneliti masuk bersama perangkat intrumennya. Ia mulai bertanya, mengamati, dan memahami setiap hal yang menurutnya aneh, unik, wagu, lucu, dan tak wajar. Akhirnya pemuda itu pun menanyakan maksud peneliti, mengapa ia sampai ingin melakukan penelitian. Sang peneliti menjawabnya dengan ringan bahwa rumah ini termasuk rumah yang mempunyai arsitektur unik menurutnya. Alasan yang tidak buruk, sehingga pemuda alias tuan rumah mengizinkan peneliti untuk menyelesikan misinya. Tapi sebelum itu ia juga bertanya , apa peneliti bermaksud untuk tinggal di rumah ini atau hanya sebatas masuk dan meneliti saja. Peneliti menjawab bahwa jika diizinkan ia ingin tinggal selamanya di rumah itu. Pemuda pun tersenyum, entah senyum apa itu, meng’iya’kan atau menolak, tak jelas!
Waktupun berjalan, peneliti masih saja sibuk dengan hal yang ia teliti, sampai akhirnya ia tidak diizinkan oleh tuan rumah untuk menetap di rumah itu. Ia terpaksa keluar dengan sejuta pertanyaan, di kepalanya. “Penelitian ini belum selesai, mengapa aku harus dipaksa keluar” keluhnya dalam hati. Tapi ia tak bisa berbuat lebih banyak selain mengikuti keputusan pemuda itu. Dan dalam jarak beberapa hari, rumah itu pun kehilangan ruh. Sang pemilik pun diam-diam meninggalkannya. Kini rumah itu tak berpenghuni, peneliti tertegun dan ingin mengatakan kepada pemuda pemilik rumah itu bahwa “ Rumahmu kosong, mulai gelap, pengap, dan dingin, jika kau terlalu lama meninggalkannya maka lambat laun ia akan menetak retak lalu hancur”. Tapi pemuda itu hanya diam – berpikir - mungkin.

*) Penggiat sastra dan penulis lepas dalam Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Semarang

Rabu, 27 Oktober 2010

Hidupku Mengukur Diujung Pulau

Tak bisa menulis dengan kebisuan, hidup = mati, mati = sendiri. Laut itu memerah laiknya percikan darah yang menari dari liaran makna hidup. Akan sampai pada waktunya, di mana tarian itu meredup dengan tali kasihnya. Aku tak mampu mengeja kata pun meraba maya.
Aku akan menggali kuburku sendiri. Tiada beda dengan kerusuhan diotakku yang menyambar habis kegalauan. Tak pernah sampan berlabuh pada ogokan tanah di laut. Tak ada beda ia atau paras cantik. Semua akan tiba pada ketahanan yang hakiki...karena aku tak kan mampu memberi sedekah cinta dan aku tak kan bisa memberi sekantung rindu. Bukan apa-apa, karena tiada yang bisa menyingkapnya.
Ia sama sepertiku nyaris tanpa selisih...membercaki lembaran hitam dengan tinta manis. Ya...ya.. begitu hebatnya aku, meniduri malam lembab tanpa jeda yang berarti. Pergi...pergi ke dalam lubang senjamu. Aku bahkan tak rela memandang sapuan ombak gunung itu, hijau yang memerihkan! Menghebatkan birumu dengan daun laut itu, biru yang memilukan! Entah...retak meretak seuja bilurku meruwat hidup yang terkikis. Mencoba memahat pulau pikirku dengan pisau atau tatah. Membentuk petakpetak epigon yang menyesatkan. Terlalu lampau keklisean semesta yang menyapa zaman, karena rinai tak kan pulih dengan bantuan rinduk hujan.
Tak ada yang biasa di sini. Semua terpoles dengan kedengkian. Tak ada kebersahajaan dengan bumbu semu yang merebahkan aroma busuk ke seantero jagad.
Goresan Semu:
“Sandra Noryz”
(Magelang, 26 Oktober 2010)