Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Sabtu, 14 Juli 2012

Catatan Lembut Sang Pendidik - Januari



Rabu, 4 Januari  2012
Tanggal 4 seharusnya menjadi tanggal yang bersejarah bagiku, karena hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah dan mengajar di pedalaman NTT. Sayang sekali...aku hanya bisa duduk diam di rumah meratapi nasib.
Kamis, 5 Januari 2012
Periksa ke RSUD. Aku bersama mbak Ina pergi ke Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng yang letaknya lumayan jauh dari kota. Dengan menggunakan jasa ojek akhirnya kami sampai di RSUD. Bukan main hal yang pertama melintas dibenakku adalah bentuk bangunannya yang agak sedikit berbeda dengan rumah sakit di Jawa. Sedikit lebih kecil namun penuh dengan jibunan orang yang katanya sakit. Aku dan Mbak Ina langsung menuju ke loket pendaftaran, hanya saja ada hal yang sedikit membuatku bingung. Di sini tidak ada nomor antrian sehingga pasien harus menulis nama dan alamat pada kertas yang disiapkan sendiri untuk diberikan kepada petugas di loket pendaftaran.
Banyak pasien yang harus berjubel untuk memasukkan nama mereka ke dalam loket. Tidak biasa hari ini kursi dalam ruang tunggu dipadati oleh banyak guru, maka aku memberanikan diri untuk sekadar bertanya kepada salah satu guru yang duduk disebelahku “Nekarabo Bapak, ini kok banyak sekali guru disini. Ada apa ya?” tanyaku dengan sedikit memaksakan logat Manggarai dalam ucapanku. “Iya Ibu, kami mau ikut diklat, tapi syaratnya harus punya surat keterangan sehat dari RSUD, padahal kalau dulu tidak ada aturan macam begini” jawabnya dengan nada sedikit keras. Ohh ternyata begini kasusnya, aku pikir guru-guru ini sedang sakit sampai-sampai pasien yang benar-benar sakit tergusur dengan rombongan guru ini, kasihan...kataku dalam hati.
Sebenarnaya aku juga malas berurusan dengan administrtasi Rumah sakit yang kataku kurang praktis. Mengapa tidak, setiap pasien harus menunggu lama di loket pendaftaran, setelah itu harus menunggu lagi di poli yang dituju. Kalau fasilitas ruang tunggu memadai tidak masalah, dalam kasus ini banyak pasien yang harus berdiri di sepanjang koridor rumah sakit termasuk aku. Sungguh tidak layak! Ketika namaku dipanggil oleh petugas kesehatan, lega rasanya karena sudah menunggu selama berjam-jam. Aku lalu diarahkan menuju Poli Umum. Sesampai di sana aku harus menunggu lagi. Lewat beberapa menit akhirnya kembali namaku dipanggil, ternyata aku salah Poli, harusnya aku ke Poli bedah. “Salah alamat Ibu, harusnya Ibu ke Poli Bedah karena kakinya bengkak jadi harus dibedah” kata dokternya. “Apa...? dibedah dok? jadi saya harus ke Poli Bedah sekarang?” jawabku dengan terkejut. “Tidak usah, nanti saya panggilkan dokternya saja ke sini, Ibu tunggu sebentar ee...”. Tidak beberapa lama muncul seorang dokter cantik memakai jilbab dan bertanya “Mana kakinya yang bengkak Ibu, coba saya lihat!”. Aku pun langsung menyodorkan kakiku yang bengkak kepadanya. Setelah dilihat ternyata beliau tidak bisa memastikan hewan yang menyebabkan kakiku seperti itu. Tiba-tiba dokter cantik itu berkata “Ini harus dibedah, di dalamnya masih ada racun yang harus dikeluarkan”. Aku sontak menjawab “Jangan dok, sudah nggak sakit kok”. Dokter itu berpikir sejenak dan berkata “Oke sudah, saya kasih obat saja ya, ini saya kasih resep silahkan ditebus di instalasi farmasi”. Mendengar hal itu aku menjadi sangat lega. Aku memang sedikit phobia dengan pisau bedah dan jarum suntik, untung saja aku selamat kali ini.
Selesai sudah urusanku dengan rumah sakit. Kini aku dan Mbak Ina berencana ke toko Buku. Ditengah perjalanan aku bertemu dengan Mas Misbah dan Mbak lili (Pendidik asal Satarmese Barat), mereka sedang belanja untuk keperluan bulanan dan berencana menginap di kontrakan. Aku mempersilahkan dengan senang hati dan berpamitan untuk melanjutkan perjalananku ke toko buku.
Jumat, 6 Januari 2012
Pagi-pagi aku melihat kakiku, apa masih bengkak atau sudah kempes, hehe seperti ban saja. Alhamdulillah obat dari Rumah Sakit sudah bekerja, tidak sia-sia rupanya. Bengkak di kakiku sudah sedikit mengecil, rasa sakit dan nyeri juga sudah berkurang dan aku bisa berjalan dengan normal hanya harus masih hati-hati. Tidak ada yang bisa kukerjakan hari ini kecuali bersih-bersih rumah dan memasak, aku bosan dengan berbaring saja, aku bosan dengan duduk saja, dan inilah aktivitas yang berhasil kukerjakan hari ini. Mas Misbah dan Mbak Lili juga berpamitan pulang ke Satarmese Barat hari ini. Seperti biasa jika hari Jumat kami sering kedatangan tamu dari kecamatan lain. Mereka pergi ke kota untuk Jumatan dan singgah di kontrakanku. Namun hari ini tidak sebanyak biasanya, hanya pendidik asal kec Cancar saja yang singgah.
Sabtu, 7 Januari 2012
Rasaku seperti mati, ingin rasanya membuat perangkat pembelajaran atau sekadar menulis tumpukan sampah hati yang menggunung. Sayang...sungguh sayang hati tidak mendukung logika. Lumpuh sudah aktivitas hari ini...
Minggu, 8 Januari 2012
Renungan sendu:
“Ketakutan terdalam kita adalah buka karena kita tidak cakap. Ketakutan terdalam kita adalah kekuatan kita dalam mengukur. Kita bertanya pada diri kita sendiri. Siapa aku sehingga aku cerdas, hebat, berbakat, dan menakjubkan? Sebenarnya, siapa sebenarnya dirimu? Kita dilahirkan untuk manifestasi. Kemuliaan Tuhan dalam diri kita dan begitu kita biarkan cahaya kita menyala, kita tanpa sadar berikan orang lain kesempatan untuk lakukan hal yang sama”.
JANGAN TAKUT PADA DIRI SENDIRI jika ingin MAJU...Bismillah besok sekolah...
            Hari ini selalu hujan sehingga aku malas melakukan aktivitas apapun kecuali tidur. Ditengah kesepian yang tak kunjung hilang, tiba-tiba Hpku berdering, aku langsung melihat nama yang muncul pada layar Hp. Ternyata Pipop pendidik bangsa asal Borik. Otakku tiba-tiba berpikir, bagaimana mungkin dia bisa menelpon kalau kondisinya tidak ada signal. Tanpa berlarut-larut aku langsung menjawab panggilan itu. Senang rasanya bisa berbagi dengan rekan seperjuangan yang mendapatkan penempatan jauh dari kota kabupaten bernama desa Borik. Dia bercerita suka dan duka  perjuangannya terutama pada saat mencari signal dia harus berjalan sejauh 4 km dengan medan yang cukup berat baru bisa mendapatkan signal, itu pun kadang timbul tenggelam. Luar biasa, masing-masing daerah penempatan para pendidik bangsa mempunyai cerita masing-masing untuk  dibagikan. Selama 3 jam aku berkomunikasi melalui pesawat telepon dengannya. Sedikit banyak aku bisa membayangkan bagaimana kondisi di sana dan mendapatkan pengalaman baru dari pendidik bangsa yang satu ini.
Senin, 9 Januari 2012
Bangun tidur, wajahku serasa lebam-lebam entah mimpi apa aku semalam. Badan sakit, daguku seperti memar karena berbentur benda keras. Sungguh tidak nyenyak sekali tidurku malam tadi. Aku langsung beranjak mandi karena ini hari pertamaku mengajar di sekolah pasca tragedi Mampau tempo hari. Air dingin menusuk tulang, aku tidak sempat mengelak karena memang pagi ini aku harus mandi. Aku sangat bersyukur karena hari ini aku sudah tidak menggunakan jasa ojek untuk pergi sekolah. Motor Aran sudah tiba di Ruteng dan aku bisa menumpang sampai motorku datang. Jarak sekolah Aran dan sekolahku lumayan jauh, dia harus menempuh jarak 9 km untuk mengantarku dan harus kembali ke sekolahnya dengan jalur memutar karena tidak ada jalan yang menyatukan dua bukit sekolah kami. He... lagi-lagi aku harus merepotkan orang, tapi demi mengirit uang Rp 20.000,00 per hari aku harus berani mengambil langkah itu.
Hari ini kembali hujan, kata orang Manggarai ini musim Dureng, yakni musim hujan terus menerus yang terjadi antara bulan Januari sampai April. Rasanya malas sekali untuk memulai aktivitas mengajar hari ini karena kondisi sekolah yang diluar dugaan. Jalan sekolah menjadi sangat sulit untuk dilalui dengan adanya hujan. Aku harus mencari pinjaman payung untuk bisa sampai ke kelas yang letaknya paling jauh dari kantor guru, jalannya dipenuhi dengan lumpur dan dihiasi dengan rumput setinggi lutut sehingga banyak rumput-rumput yang menempel pada celanaku. Kabut juga ikut berperan menambah suasana dingin mencekam. Setiba di depan kelas, aku dibuat kaget oleh ulah siswa yang memukul meja serentak berdiri dan mengucapkan “Selamat pagi Bu...!”, hampir saja aku limbung di buatnya. Tak disangka dan tak diduga, aku mendapatkan sambutan yang luar biasa menurutku. Aku tidak bisa berkata apa-apa melihat mata yang binar yang menatapku, memperhatikan setiap gerak-gerik dan ekspresiku. Terpana dan malu aku dibuatnya, namun aku bangga melihat semangat yang terpancar dari mata mereka. Aku pun menyudahi situasi yang aneh itu dengan berkata “Terima kasih, kalian boleh duduk”.
Selama enam jam aku mulai menyelami karakter anak-anak didikku. Dengan bertanya, menyapa, memanggil, memandang, dan begitu pun sebaliknya. Mereka tampak begitu senang dengan kehadiranku, berbeda sekali dengan di jawa, mereka begitu sangat memperhatikan dan mendengarkan ucapanku disertai tawa ringan dari mereka. Luar biasa aku dipertemukan dengan karakter siswa yang sedemikian berbeda dari biasanya, sebagaian dari mereka masih pemalu dan aku masih mengalamai kesulitan ketika berkomunikasi dengan mereka karena terbentur dialek kebahasaan. Sangat wajar menurutku, mereka sudah memberikan respon saja, aku sudah senang. Jam sudah menunjukkan pukul 13.15 WITA dan aku harus mengakhiri peranku sebagai guru di SMK ini, temanku Aran sudah menjemput.
Selasa, 10 Januari 2012
Berbeda dengan hari-hari kemarin, hari ini sungguh cerah, secerah hatiku. Pagi ini aku bangun dengan selangit asa yang membuncah, entah mengapa rasaku sungguh berbeda pagi ini yang jelas ini merupakan anugerah terindah yang kumiliki, bisa bagun dengan rasa yang luar biasa ini. Matahari sudah merangkak naik disertai semilir angin pagi yang sangat dingin. Cahaya matahari pagi tak mampu menembus dingin. Kulit tetap saja beku. Seperti biasa aku mulai memerankan peranku kembali. Bersama Aran, aku mulai membelah kabut menuju lembah bukit dimana sekolahku berada. 

0 komentar:

Posting Komentar