Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Rabu, 03 November 2010

Refleksi Yang Abstrak-ku Oleh : Sandra Noryz

Gomenkudasai…..
Salam hangat menguar dari tempat tinggalku. Tempat tinggal yang kusebut sebagai gubuk perasaan. Perasaan yang menyembul dan kadang menenggelamkan diri. Diri yang aku sendiri mengalphakan eksistensinya. Tapi aku PERCAYA…..
Aku menulis ini dengan pena yang lain di hatiku. Pena yang tanpa lelah membimbingku menjadi manusia. Pena yang selama ini aku mencari impian bersamanya. Pena yang telah memborehiku dengan semangat-semangat kecil tapi dinamis. Ya! Kami seperti “aku” nyaris tanpa selisih. Membercaki lembaran hitam dengan tinta manis. Yang jelas aku seperti berjalan di udara. Berenang-renang di atasnya tanpa alas pun cakrawala. Si Dina mencari Cuma tiang-tiang berpegangan. Dia manusia riskan, itu sebabnya selalu ikhtiyat dalam ambil keputusan.

[Ini malam salaksa perenungan…bulan secepatnya berjingkat dari desing kericuhan. Sepertinya aku belum mampu busungkan dada, dedahkan kenyataan sebenarnya] bahwa:
Sastra adalah mimpiku. Aku selalu merasa mimpi adalah duniaku yang kedua. Hingga kadang tak mampu bedakan hati dan logika. Hati ibarat peta dan logika adalah senternya. Itu sebabnya mereka saling membutuhkan. Mereka dicipta untuk bersama, tetapi mengapa mencuatkan kontradiksi yang hebat???

Hemm…sungguh pun pelik aku mengalirkannya dengan caraku kontemplasi, membangun konstruksi. Nah dalam “Chaos In Feel” itu, aku menemukan kebijaksanaan yang dewasa dari para penyair lewat puisi-puisi dan imajinasi nyata mereka. Dan sastrawan yang mendewasaan itu adalah Soe Hok Gie dan Gusmus. Hidup adalah pilihan dan aku harus memilih untuk hidup {Realisasikanlah}.

Aku berharap bisa mengartikulasikan semua-mua. Berita tentang hati, tentang bintang-bintang yang acap merisauku, tentang malam-malam yang buatku biru, tentang angin yang tak henti-hentinya menderu, juga “drama kecil” yang setiap harinya terdengar sendu. Tak sadar…semuanya menjadi sedemikian kental bagiku. Serupa konstruksi baru, aku mau memetakan semua itu. Tak mau mengahambar laiknya kehidupan yang kuyu.
Sungguh pun aku telah mengalami kekalahan yang paling dramatis sepanjang sejarah (tapi…sekaligus kemenangan yang tak terperi indahnya).
La’allahu ma’ana!!!
Sebuah semangat merdeka. Ghiroh memberontak. Kidung rumah Tuhan sedari tadi berteriak. Di depan. Dokumentasi sejarah baru akan dicetak. Tak ada spasi lagi. Terlalu banyak pembunuhan hak asasi. Butuh keberanian dan tindakan……Acchh prolog yang abstrak.

[Bulan secepatnya mengendap di bebalik samudra malam. Tapi aku masih mampu mengintipnya lewat celah-celah kasih yang terjurai indah, lewat angina sepoi yang berdesir manja, lewat folikel-folikel hati yang berkecipak asa, juga lewat cahaya ini yang sedari tadi terpancang di palung hati].
Aku ingin menulis sesuatu: Bagaimana mendatangkan wacana yang sungguh sulit alih-alih dipecahkan. Merabapun tanganku terasa maya untuk sejenak merasai keberadaannya. Kadang aku bertanya apa ia memang seharusnya ada, atau Cuma dikadali rekaan maya, ilusi berkemas nyata. Entahlah!!!

Kadang imajinasi liarku muncul. Aku ingin seperti “Robert Langdon”nya Dan Brown. Atau “Aku”nya Emha Ainin Najib. Atau Naruto juga boleh. Apapunlah, yang penting aku serupa kriptolog dan petualang yang punya kekuatan terpendam dalam memecahkan kode-kode rumit perasaan. Aku ingin menguliti kekuatan seperti apa yang berhasil buatku kelimpungan sampai masuk pada stadium I ini. Aku ingin menguak mengapa ia meng-ada dan berhulu ledak luar biasa…

Saat aku menulis ini, matari (begitu Pramudya menyebutnya) serupa miniature perasaanku. Meski pagi, matanya sembab seperti hendak menitikkan air rasa. Meski jauh, kami seolah samudra kembar – Aku melihatmu di sini, di pikiranku sejak tadi. Dasar pagi!!!Selalu saja ada surprise tiap hari. Tak ada teman kontemplasi setelah malam-sebaikmu.

“Biarkan keyakinanmu, 5 cm menggantung mengambang di depan keningmu. Dan…sehabis itu yang kamu perlu Cuma…Cuma kaki yang akan berjalan lebih jauh dari biasanya, tangan yang akan berbuat lebih banyak dari biasanya, mata yang akan menatap lebih banyak dari biasanya, leher yang akan lebih sering melihat ke atas……lapisan tekat yang seribu kali lebih keras dari baja……Dan hati yang akan bekerja keras dari biasanya, serta mulut yang akan berdoa…”(Dirganthoro, Donny. 5 cm).

“Kamar Paling Sepi Di Dunia”

“Salam sabar semoga selalu selalu dipancangkan ke dalam hati”
Yakinlah……Tuhan akan menjelma seperti apa fikirmu. Jika rasamu baik dan positif thinking, Dia akan menjelma sangat baik. Jika “ingin”mu kurang baik dan su’udzon, pastilah kau dapati wajah Tuhan sangat jahat. Sayang sekali, Tuhan tak ada kecuali Maha segala kebaikan.

Saat ini aku sangat tergila-gila dengan konsep “yakin”. Gusmus mediatornya. Lewat permainan filosofi kata-katanya. Katanya: secara hakiki manusia punya internal power berupa keyakinan. Ia akan sangatberkontribusi dalam hidup. Kau ingat betapa Rabi’ah Al-Adawiyah (seorang sufi) luar biasa yakin dengan keyakinannya, sehingga suatu saat ketika ada dua orang bertamu di rumahnya, dia hanya mendapati dua potong roti untuk disajikan. Begitu hendak diberikan, ia melihat pengemis, lalu tergerak hatinya untuk diberikanlah roti itu kedua-duanya. Dlam kondisi tak punya apa-apa, ia yakin kalau Tuhan akan mengganti 10x lipat roti-rotinya. Subhanallah…… tak lama setelah itu ada pengantar roti yang mengantar roti kepada Rabi’ah. Ketika ditanya dari mana roti itu, si pengantar menjawab dari “majikan” saya. Roti itu ada 18 buah. Tak pelak Rabi’ah langsung menemui sang manjikan. Bukan untuk apa-apa, tapi meminta 2 roti lagi yang ia sangat yakin Tuhan akan mengganti roti-rotinya sebanyak 10x lipat, bukan 9x lipat. Ternyata benar masih ada 2 yang belum diberikan. “Sengaja”. Subhanallah!

Belum lagi tentang Kang Abu bakar yang mentashaufkan hartanya di jalan Allah dengan selangit keyakinan bahwa Tuhan akan menggantinya berlebih. Bahkan Gusmus pernah berkata “Thoma’ pada manusia itu haram, tapi Thoma’ pada Allah itu wajib, disertai keyakinan”. Jadi mari sama-sama latihan yakin yuk! Yakin…pasti Tuhan punya Rencana seribu kali indah untukmu jika kau meyakininya1

“Bercerita adalah sungai yang senantiasa mengalir, jangan biarkan ia membendungmu, menahan semua redaksi perasaan”.

Salah satu mediatornya adalah orang tua. Aku akan mengambil abstraksi dari kisahku;
Ayahku yang bekerja jauh di sana itu tak bukan untuk dekat denganku. Yang beliau fikirkan cuma satu. Bagaimana putrinya bahagia dan bisa mendapatkan pendidikan dengan layak. Aku yakin secara naluriah beliau ingin sekali setiap hari dekat dengan putra-putrinya. Bermain bersama, tertawa, menangis, menatap hari-hari yang tak jelas kejelasannya……sungguh manusiawi! Tuhan tidak membuat sesuatu dengan sia-sia, termasuk memanggil ibundaku. Pasti ada “kado istimewa” kelak (aku berbicara seolah-olah mengenal Tuhan. Percayalah aku juga sedang berteriak-teriak mencari-Nya).
Hari itu, hari dimana ibu membercaki tangannya dengan tinta yang terakhir sebelum berangkat rekreasi ke alam Barzah. Aku mendapati suratnya! “surat” yang baru kali ini aku menerimanya. Surat dari malaikat yang kedua tangannya telah meng”aku”kan aku. Surat yang sarat denga cinta. Surat yang karya sastra terbaik yang pernah kubaca. Surat yang sekarang aku letakkan di dinding tempat tidurku. Aku ingin ketika bagun, taushiyah ibu’lah yang kulihat pertama. Semoga Tuhan memberi selalu kemuliaan bagi mereka yang kucintai. Amin…
Aku menulis ini atas dasar kecenderungan. Dari dulu itulah aku. Kecenderungan yang terkadang dipicu oleh cahaya orang lain. Tapi orang lain itu…bukanlah satu-satunya pemilik cahaya serupa. Karena “Bahasa Lahir dari Peta Batin Penulisnya”. Seperti sebuah statement:
 Salam perjuangan menuju manusia yang sebenarnya…
 Salam metamorphosa…
 Salam anti komersialisasi pendidikan…
Itu hanya sebagian kecil proses “Bahasa Lahir yang menuju Peta Batin”.

Secara lahiriah coretanku ini tak bermakna, maka resapilah secara batiniah dan intuisi sastra + imajinasi yang melangit…..agar tidak menjadi sebuah Intermezo yang tak bermakna..
Barokallohu lana’!!!


“Surga Baru Peradaban”