Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Selasa, 17 Januari 2012

1% Sandra Noryz*)`

Ruhku telah berhenti berlari. Aku merasa menemukan kehidupan baru disini. Kehidupan tak terlihat. Kehidupan kosong. Kehidupan yang lamat-lamat menggerogoti hatiku hingga meradang. Aku sendiri tak pernah sadar dengan penyakit hati ini yang tiba-tiba melanda, membuatku merangsek ke tepi jurang hitam. Tidak...seharusnya ini bukan Deja Vu atau sekadar kamuflaseku yang liar. Ini nyata. Dia ada. Dia di hatiku sekarang. Dia penyakitku sekarang. Dia...yang tidak begitu jelas telah menuntunku kebibir jurang itu. Aku sangat mengenal tempat ini. Tempat yang sudah membunuh akalku. Tempat yang sudah membuatku sekarat karena hatiku membusuk dan otakku bengkak penuh nanah. Aku tak habis pikir dengan semua ini. Maunya aku kembali ke tempat ini. Tidak jelas akan mati atau hidup bak mayat hidup seperti dulu-dulu. Bodohnya aku kembali dengan selangit harap yang ternyata kosong.

“1%” katanya. Aku harus hidup dengan 1% rasa. Jika ditengok dengan akal sehat, ini tidak logis. Aku tidak akan mampu hidup dengan harapan yang hanya 1%. Bodoh ataukah bebal otakku ini, aku sudah diperalat, aku sudah diperdaya, aku telah kalah darinya. Susah payah aku membangun tembok yang begitu kokoh dihatiku, masih tetap runtuh juga olehnya. Sial...umpatanku tidak cukup untuk membodohkan diriku. Hebat...kuakui kehebatannya telah mengalahkanku, strategi apa yang ia gunakan untuk meruntuhkan dinding penghalangku. Aku selalu berjaga 24 jam, agar ia tetap utuh. Taktik ini sungguh jitu menurutku. Lagi-lagi sial...aku dikadali oleh ilusi berkemas nyata. Dia hanya kosong, setengah mati aku menc arinya. Dia lenyap bagai angin.

Hati dan logika
Untuk kali ini, mereka tidak beriringan. Aku sendiri susah payah menyatukan mereka. Hatiku mau saja di bawa ke pinggir jurang, tapi otakku setengah mati menolaknya. Dia telah membuat buyar semua-mua...Hati berjalan sendiri, logikan pun sama.
Hati : Aku akan menerimanya. Meski hanya 1% dia tetap memberi harap bagiku.
Logika : Bodoh kau, seharusnya kau belajar dpada kematianmu yang dulu. Susah payah kau bangkit dari keterpurukanmu, lalu sekarang kau kembali pada jalan yang sama?
Hati : Aku tau itu, aku juga tidak akan melupakan kejadian itu. Kejadian yang hampir membuatku lumpuh seumur hidup.
Logika : Itu kau tau, mengapa harus kau ulangi lagi?
Hati : Kau tau, aku merasa hampa jika sendiri. Aku butuh harapan yang akan membuatku tetap hidup.
Logika : Masih banyak harapan-harapan lain. Yang lebih penting dari pada harapan itu. Percayalah, kau akan tetap hidup.
Hati : Tidak, harapan yang lain tetap berbeda dengan harapan itu. Harapan itu akan membuatku lebih kuat dan bahagia dalam menjalani hidup.
Logika : Kau percaya harapan itu akan membuatmu bahagia? Sedang ia hanya memberimu 1%? Hanya 1%, tidak lebih.
Hati : Aku sangat mempercayainya, meski ia hanya memberiku satu persen.
Logika : Apa kau tidak takut, ia hanya akan mempermainkanmu saja, seperti harapan-harapan yang dulu?
Hati : Sebenarnya, lukaku juga belum kering. Masih ada perasaan takut yang membuncah kalau dia tidak benar-benar denganku.
Logika : Tinggalkan dia, sebelum kau mati untuk kesekian kalinya.
Hati : Tidak, aku akan mencoba mempercayainya.
Logika : Dia tidak akan benar-benar denganmu.
Hati : Bismillah, aku akan mencoba dengannya.

Begitulah pertarungan yang terjadi antara hati dan logika. Untuk sekarang hatiku tidak bisa dikendalikan, ia sangat liar melebihi liarnya kuda yang berada di Sumbawa. Logikakupun menyerah sudah. Ia tidak bisa berbuat apa-apa melihat hati yang sangat gembira dengan hadirnya harapan yang hanya 1%. “Sedikit sekali, tak bisakan harapan itu bertambah menjadi 50% atau bahkan 100%”, pikirnya. Aku akan selalu mendukungmu, hati. Jika suatu saat harapan itu hilang. Aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi untukmu.
Hatiku berkata lirih: “Harapan, aku mencintaimu dengan 1% rasa yang ada”.

*)Penulis Lepas Komunitas Sastra Indonesia