Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Jumat, 13 Juli 2012

TRAGEDI MAMPAU Oleh: Sandra Noryz*

Mampau adalah sebuah kampung yang terletak di desa SatarLuju Kecamatan Satarmese Barat. Sebenarnya kecamatan ini bukanlah tempat tugasku. Aku hanya pergi pesiar (berkunjung) ke tempat tugas rekan SM-3T yang bertugas di SMP N 8 Satarmese. Kecamatan ini sangat jauh dari kota kabupaten, jika ditempuh dengan menguunakan Oto Kol (sebuah kendaraan khas Manggarai) memakan waktu 4-8 jam. Tak menyangka pengalaman terburuk selama hidupku terjadi di kampung Mampau.

Sabtu, 31 Desember 2011
Akhirnya dengan berbagai pertimbangan aku memutuskan untuk berangkat ke pulau Mules hari ini. Terpaksa aku meninggalkan 3 orang temanku yang sebenarnya ingin ikut. Namun apa boleh buat, tekadku sudah bulat untuk menuju ke pulau Mules. Akhirnya hanya aku dan Aran yang berangkat, susah payah aku membujuknya untuk ikut, bukan apa-apa hanya agar aku tidak sendirian dari Ruteng. Pukul 08.00 WITA aku menuju ke rumah kepala sekolah SMP N 8 Satarmese Barat di Ruteng, karena rencananya aku akan menumpang mobil carteran kepala sekolah temanku. Aku diantar oleh Mansur sementara Aran menyewa jasa ojek. Aku pikir, ketika tiba di rumah kami langsung berangkat ternyata pukul 11.00 WITA baru berangkat. Untuk kali ini kami melalui jalur yang berbeda dengan jalur oto sehingga jarak yang tadinya dapat ditempuh selama 5 jam, bisa kami tempuh selama 3 jam saja.


Pukul 15.00 WITA kami tiba di dusun Dintor, Satarmese Barat. Cuaca kali ini tidak mendukung untuk menyebrang ke pulau sehingga kami harus menunggu hujan reda dan menunggu jemputan pendidik bangsa yang sudah berada di pulau. Lama sekali kami menunggu di Masjid dengan kondisi perut lapar, lalu kami memutuskan untuk membeli mie instan dan memasaknya di rumah warga. Tepat pukul 17.00 WITA jemputan kami datang, terlihat Mas Orchid dan Pipop yang berada di atas perahu. Merekalah yang akhirnya datang menjemput kami, sungguh persahabatan yang luar biasa.



Awalnya kupikir kami akan bergabung dengan masyarakat pulau mules, tetapi perahu yang kami naiki berputar menuju ke pantai pulau mules yang tidak berpenghuni. Rasa senang tiba-tiba hinggap dalam benakku melihat pemandangan yang begitu luar biasa. Laut yang sungguh biru, pasir yang sungguh putih, semua terlihat sangat mengangumkan. Kami menginap dengan sebuah tenda di pantai tak berpenghuni, pengalaman pertama bagiku ditengah suasana pergantian tahun. Tidak pernah sebelumnya aku merayakan pergantian tahun dengan suasana seperti ini. Aku, Atun, Zaenal, dan Alfi langsung berlari sepanjang pantai seperti orang yang belum pernah melihat pemandangan indah, tapi memang sebenarnya iya, hehe...kami berlari dengan riangnya sembari mengabadikan moment dalam bentuk gambar tanpa terasa matahari sudah terbenam.

Malam hari begitu gelap, kami hanya bisa membuat penerangan dengan  api unggun. Di tempat itu tidak ada signal apalagi listrik, jadi kami seolah-olah tersesat di hutan padahal tidak. Tanpa diduga-duga hujan turun dengan derasnya dan membuyarkan api kami juga melumpuhkan aktivitas kami. Hanya satu tenda yang menyelamatkan kami malam itu, semua pendidik bangsa berteduh dalam tenda yang sempit itu. Sangat tidak seimbang dengan jumlah pendidik bangsa yang banyak, akhirnya kami hanya bisa duduk saja meratap kedinginan  sepanjang malam sambil memantau air pasang. Hujan kali ini begitu lebat sampai memaksa kami untuk tetap terjaga hingga pagi hari. Luar biasa, malam tahun baru yang aneh sekaligus menyenangkan bagi kami.

Minggu, 1 Januari 2012
Pagi harinya kami memutuskan untuk berjalan memutari pulau mules. Sikap bodoh kami muncul dengan menanggalkan alas kaki karena berpikir selama perjalananan hanya pasir putih saja yang menemani, tetapi kenyataannya berbeda kami harus memasuki hutan untuk memotong jalan dan melihat mercusuar. Hutan belukar dipenuhi dengan semak duri yang kami temui. Sepanjang perjalanan kami meraung kesakitan karena meskipun kami sudah berusaha menghindari duri, tetap saja kena.” Haduuh...kakiku sakit, mas kita keluar aja dari hutan. Kakinya nggak kuat, lewat pantai nggak apa-apa lah meski    jauh yang penting kaki selamat” kata Atun. Akhirnya Mas Orchid memutuskan untuk ke pantai. Ternyata di pantai, kaki kami seperti digoreng dengan pasir panas. “Wahh...sama aja kalau begini mah” kataku. Terdengar tawa bersamaan dari teman-teman yang sependapat denganku.

Perjuangan kami menembus panas tidak sia-sia, akhirnya kami sampai di Labuah Taur dengan selamat. Meski sempat dijemput dengan kapal kecil karena ada sedikit kesalahpahaman. Siang itu kami langsung menuju Dintor karena kami mendapat kabar dari penduduk Labuan Taur bahwa sebentar lagi akan ada badai. Sesampai di Dintor aku berniat untuk mengunjungi teman yang bertugas di SMP N 8 Satarmese Barat tepatnya di kampung Mampau. Setelah lama mengunggu bemo akhirnya kami sampai di Mampau. SMP N 8 Satarmese Barat terletak di atas bukit yang merupakan lahan baru sehingga belum ada jalan yang menghubungkan dengan pemukiman penduduk. Gerbang sekolah menghadap ladang tidak ada jalan di depannya. Untuk menuju sekolah hanya ada jalan setapak. Kebetulan temanku tinggal di sekolah, jadi aku juga harus tidur di sekolah yang baru 2 tahun berdiri itu. Sore harinya aku membantu Zaenal untuk mengambil air yang jaraknya cukup jauh dari sekolah. Kami harus naik turun bukit dulu hingga bisa sampai ke laut. Ya...air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari adalah air payau, semua penduduk kampung Mampau juga menggunakannya sehingga harus menunggu air surut terlebih dahulu dan harus bergegas sebelum air laut kembali pasang. Sungguh pemandangan yang jarang aku temui, namun sangat asyik jika dilakukan bersama-sama. Aku membawa air 10 liter menuju ke sekolah sedangkan Zaenal membawa 15 liter air. 

Malam harinya kami mengisi daya baterai Hp ke rumah penduduk yang berjarak 400 meter dari sekolah. Di kampung Mampau belum ada listrik, tetapi ada sebagian penduduk yang menggunakan jenset dari pukul 18.00-22.00 WITA. Usai salat isya dan makan kami langsung menuju ke rumah penduduk. Kami menembus hutan basah dengan jalan setapak yang gelap, hanya senter yang menerangi jalan kami. Setiba di rumah penduduk kami disambut dengan hangat, keramahan penduduk malam itu menahan kami hingga pukul 22.00 WITA. Jenset sudah mati, kami pun berpamitan untuk kembali ke sekolah. Malam semakin pekat ketika kami kembali menembus hutan basah yang gelap. Kali ini aku berjalan di depan dengan bekal senter Hp yang redup aku memimpin. Suasana sunyi, hingga tampak begitu menyeramkan, aku pun memulai pembicaraan dengan Atun untuk mengusir ketakutan. Ditengah keheningan tiba-tiba aku berteriak “Aduh...kakiku digigit apa ini?”, sontak teman-teman menghampiriku sembari melihat kakiku yang berdarah dengan dua bekas gigitan. “Wah ular itu... sedot Pop!” kata Aran panik. Tanpa berpikir panjang Pipop menyedot luka bekas gigitan yang ada di kakiku, setelah itu mereka memutuskan untuk kembali ke pemukiman penduduk agar aku mendapatkan pertolongan pertama. Ketika itu aku belum merasakan apa-apa, hanya sedikit perih pada luka bekas gigitan saja. Sesampai di rumah penduduk, aku dibaringkan di tempat tidur sembari menunggu minyak gosok nona mas. Rasa nyeri tiba-tiba menjalar keseluruh sendi urat, mulai dari pangkal paha sampai ujung jari kaki.
Luar biasa...baru kali pertama aku merasakannya. Penduduk sekitar berdatangan untuk melihatku, berbagai cara mereka lakukan seperti memberi minyak gosok dan menaburi lukaku dengan isi baterai yang berwarna hitam, sampai meludahi lukaku tetapi tidak sedikit pun mengurangi rasa sakit yang menyiksaku semalaman. Antara hidup dan mati saja, rasaku demikian. Atun, Pipop, Zaenal, Mbak Alfi, dan Aran selalu berada di sampingku dan menjagaku semalam suntuk. Tidak ada yang kurasakan selain, nyeri, ngilu, dan sakit di tulang paha sampai kaki. Tuhan...tolong akhiri penderitaan ini saja, pintaku dalam hati.

Senin, 2 Januari 2012
Ayam mulai berkokok, tanda fajar menjelang. Aku masih saja berkutat dengan kesakitan yang sangat sementara teman-teman di sekitarku masih memejamkan mata karena kelelahan menjagaku semalam suntuk. Air mata tak berhenti mengalir, sakit yang tadinya sampai ke pangkal paha kini sudah mulai turun sampai ke lutut. Memang benar prediksi penduduk sekitar, jika terkena racun atau bisa hanya diberi minyak nona mas saja pasti tidak akan bengkak. Kakiku memang tidak bengkak, tetapi sakitnya lebih sakit dari dirajam-rajam. Pagi hari satu persatu teman-teman mulai membuka mata. “Gimana San rasanya, masih sakit?” tanya Pipop. “Masih...” jawabku lirih. Teman-temanku mulai mencari solusi atas kesakitanku. “Bagaimana kalau dibawa ke puskesmas terdekat?” kata Jaenal membuka jalur percakapan. “Maksudmu puskesmas Narang” sahut Atun. Puskesmas paling dekat dari kampung Mampau terletak di desa Narang yang dapat ditempuh dengan sepeda motor selama 1 jam. Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi, teman-teman memutuskan untuk membawaku ke Narang melihat kondisiku yang sudah tak berdaya melawan racun ular ditubuhku. Pipop, Jaenal, dan Aran mengangkatku menuju jalan raya yang berjarak 500 m dari kampung Mampau. Kondisi jalan berbatu terjal dan menurun menjadi kendala, sehingga setiap beberapa menit mereka harus berhenti untuk istirahat.
Mampau-Narang adalah perjalanan yang melelahkan kataku. Bagaimana tidak, aku harus berjejal dengan tukang ojek dan Pipop dibelakangku dengan jalan yang rusak dan kondisi motor yang kurang fit. Belum lagi aku harus mengangkat kakiku untuk menghindari semak belukar di pinggir jalan, menahan sakitku selama satu jam perjalanan. Sungguh penderitaan yang tidak ingin kuulang. Sesampai di Puskesmas Narang, lega rasanya karena sebentar lagi aku akan lepas dari penderitaan ini. Namun hasilnya nihil, puskesmas kosong. Tidak ada satu pun dokter, perawat, atau bidan yang berjaga di sana. Dongkol sekali rasanya hati ini, tak bisa berbuat banyak hanya sesal yang memenuhi sudut hati. Pipop tidak kehabisan akal, ia lalu berniat ke rumah salah satu bidan di desa itu. Lagi-lagi nihil, ibu bidan sedang pergi ke kota. Malangnya nasibku, menjadi bola yang hanya berputar-putar di lapangan saja. Di tengah keputusasaan kami, Pak David muncul (salah satu warga kampung Mampau yang menolongku). Beliau mengarahkan kami untuk ke rumah Mantri di desa itu. Tanpa basa basi, kami langsung meluncur ke rumah mantri tersebut. Syukurlah, kami disambut dengan baik. Mula-mula Pak Mantri memegang kakiku sembari melihat luka bekas patokan ular itu. Lalu beliau memeriksa tensi darahku dan akhirnya memberikan tiga jenis obat yang dicampur jadi satu dalam plastik obat yang kusam. Meski terlihat bahwa plastik obat itu bekas, namun aku sudah senang bisa memperoleh obat di daerah terpencil ini. Itu tandanya aku akan segera lepas dari rasa kesakitan ini. Setelah minum obat, aku sudah tak sadarkan diri, bukan pingsan tapi mengantuk karena semalaman tidak tidur. Aku tidur sambil duduk di ruang tamu, sungguh memalukan, hehe...apa boleh buat. Ditengah ketidaksadaran, aku dituntun untuk menaiki bus yang menuju ke Ruteng (kota Kabupaten). Panas sekali bus itu, kakiku tanpa alas kaki rasanya seperti terbakar karena dibawahnya terdapat mesin yang meraung-raung. Ahh...sudahlah, aku tidak peduli mataku hanya ingin terpejam sampai ke Ruteng. Hanya itu...

Selasa, 3 Januari 2012
Pagi dingin, kurasa kakiku mati rasa. Pagi ini ada yang berbeda dengan kakiku. Sepertinya rasa sakit itu sudah mengibarkan bendera putih kepadaku. Iya...aku sudah tidak merasakannya lagi, maksudku tidak begitu sakit lagi. Hanya saja kakiku membesar, mungkin bengkak. Tak apalah yang penting aku tidak kesakitan lagi. Dengan bengkaknya kaki ini semua aktivitasku menjadi terbatas. Aku hanya bisa duduk seharian, untuk dipakai berjalan saja sudah nyeri.
Pipop hari ini juga kembali ke Satarmese Barat. Seharusnya tanggal ini ia sudah masuk sekolah, tetapi apa boleh buat...ia harus mengantarku untuk sampai ke Ruteng dan merelakan jam mengajar di SD Borik. Terima kasih kawan...hanya itu yang bisa aku ucapkan untukmu.

* Sarjana Mendidik di daerah 3T  2011 (Kab. Manggarai)





















0 komentar:

Posting Komentar