Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Kamis, 23 Desember 2010

Kiprah “RESIST BOOK” sebagai Lambang Perlawanan

Dewasa ini banyak penerbit yang bergerak dalam bidang penerbitan sastra. Tetapi resistbook tetap eksis pada bidangnya yaitu penerbitan nonfiksi yang khusus pada tema tertentu seperti tema sosial, ekonomi, sosial, budaya, politik, dan filsafat.
Keeksisan resist book patut diacungi jempol, sebab pada zaman sekarang sangat sulit menemukan penerbit semacam itu. Seperti halnya ketika mengunjungi penebit ini (20/7) mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Negeri Semarang dalam program Kuliah Kerja Lapangan (KKL), mendapati hal yang serupa. Penerbitan yang digawangi oleh wawan selaku bagian redaksi ini sangat keukeuh dalam mempertahankan tradisi intelektual yang berorientasi pada gerakan-gerakan sosial. Penerbitan ini tidak memperhatikan untung rugi ketika menerbitkan sebuah karya.
Resist book sebagai bengkel kata-kata atau lebih tepatnya sering disebut sebagai pengolah naskah mempunyai syarat tersendiri ketika menyeleksi syarat yang masuk. Seperti tema yang diangkat harus aktual, naskah tersebut belum pernah diterbitkan, masalah yang ditulis berkutat pada masalah yang kritis pada sistem yang dominan. Menurut Titis bagian jaringan pengembangan Resist Book, tema yang sering diangkat atau diterbitkan selalu berpihak pada kaum marginal. Hanya selalu kaum-kaum kecil yang disoroti, karena mereka selalu mendapatkan perlakukan yang kurang adil dalam masyarakat.
Salah satu buku yang diterbitkan oleh Resist Book yang mengusung tema sosial dan berpihak pada kaum miskin adalah buku Kaum Miskin Bersatulah karya Eko Prasetyo. Buku ini adalah buku yang paling laris terjual sebanyak 10 ribu exemplar pada tahun 2005, dan mengalami tiga sampai empat kali cetak. Berisi tentang permasalahan kritis yang bertema kemiskinan. Bahwa kemiskinan sepatutnya jadi lambang negeri ini. Mereka bukan hanya berjumlah banyak tapi menyembul kemana-mana. Papan larangan untuk pemulung, pengemis, dan pengamen tersebar disemua tempat. Mereka seperti barang najis yang harus dijauhi. Seolah spesies yang mengancam dan perlu dikurung di tempat tertentu. Padahal kemiskinan bukan salah mereka. Andai hidup itu berdiri diatas pilihan bebas, pasti tidak ada yang memilih menjadi orang miskin. Hidup bukan ditentukan oleh pilihan sendiri, tetapi juga digariskan oleh struktur sosial. Kini waktunya orang miskin menyatukan pilihan. Waktunya membangun gerakan bersama. Bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan, melainkan juga merebut ruang keputusan politik yang telah lama hilang, bukan saatnya menjadi ‘budak dan massa’ yang diarahkan terus menerus. Dibantu sekedarnya, tetapi dibiarkan miskin selamanya. Waktunya yang miskin merebut.

Itu merupakan salah satu buku yang sangat inspiratif yang telah diterbitkan oleh Resist Book. Buku-buku terbitan Resist Book terbagi atas beberapa seri, diantaraya adalah seri gerakan sosial, seri melawan globalisasi, seri dilarang miskin, seri revolusi, seri anti militerisme, seri penggagas muda, seri pendidikan kritis, seri idiologi, seri komik, seri anti gaya hidup, dan seri kajian agraria. Melihat seri-seri terbitan Resist Book semakin memperkuat citra Resist Book yang benar-benar berada pada garis perjuangan. Mengapa perjuangan? Tentunya itulah kata yang pantas untuk menggambarkan kiprah Resist Book dalam dunia penerbitan. Begitu sulitnya bertahan dalam posisi demikian. Jika melihat dari segi keuntungan, jelas resist tidak mengalaminya, sebab buku-buku yang banyak diminati oleh pembaca kebanyakan bergenre fiksi. Sedangkan buku-buku bergenre non fiksi sangat kurang diminati. Melihat tingkat ketertarikan yang minim terhadap buku-buku yang diterbitkannya, resist semakin terpuruk dan berjalan terseok-seok. Pihak-pihak pendukung dari luar juga kurang apresiatif. Hanya sekumpulan anak muda yang memutar roda penerbitan dengan slogan: Baca & Lawan saja yang berani berdiri dipinggir jurang dan sewaktu-waktu dapat jatuh jika tidak pintar-pintar mengelola resist.
Sejauh ini resist masih kesulitan dalam mencari naskah yang sesuai dengan spesifikasinya yang benar-benar berada pada ranah pergerakan dan berorientasi pada teks-teks yang membangkitkan kepedulian, simpati, dan keberpihakan pada mereka yang menjadi korban. Karena kembali lagi Resist Book adalah penerbitan yang mengancang pengembangan wacana kritis dan gagasan perlawanan progresif. Sebelum menerbitkan buku, resist mencari naskah terlebih dahulu kemudian naskah dipilah sesuai dengan tema yang sedang hangat dibicarakan atau tema-tema yang booming. Naskah yang sudah terpilih lalu disunting mulai dari menyunting isi, bahasa , dan penyajian. Dan yang terakhir adalah mendesain cover buku yang diinginkan oleh penulis.

Disinilah titik perjuangan sebenarnya. Masalah-masalah yang kritis tetapi sering dilupakan diangkat dan diterbitkan oleh resist, masalah yang sepele dan terlihat kurang menarik, dikemas sedemikian rupa sehingga layak baca oleh resist. Menjadi sebuah lambang perlawanan tidaklah mudah, sekali lagi butuh perjuangan agar tetap eksis dalam dunia penerbitan. Untuk tetap eksis pun tidak semudah membalikkan telapak tangan sama halnya dengan memahami realitas dan bagian keberadaan (eksistensi) itu sendiri.
Pembentukan eksistensi Resist Book yang bisa dikatakan jatuh bangun ini diprakasai oleh sekumpulan pemuda yang mempunyai semangat yang tidak pernah luntur dan selalu ditanamkan. Merekalah yang sebenarnya menjadi roh dari eksistensi Resist Book. Resist yang dulunya adalah bagian dari Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang berwujud Insist Press, kini berhasil melebarkan sayap menjadi badan penerbitan yang berkarakter. Resist baru saja merubah orientasi yang awalnya hanya menerbitkan buku, sekarang menjadi pabrik kata dengan mengadakan pelatihan dan riset-riset. Struktur yang ada dalam tubuh resist terdiri atas struktur internal yaitu admin dan keuangan lalu redaksi dan riset, sedangkan struktur eksternal terdiri atas jaringan dan pengembangan, pemasaran dan distribusi, yang terakhir adalah pencetakan. Dalam jangka waktu satu bulan, Resist biasa menerbitkan satu sampai tiga buku.
Kita sebagai mahasiswa Bahasa dan Sastra indonesia dan kaum akademisi yang selalu berkutat dengan masalah sosial, harus mendukung perjuangan Resist Book karena mahasiswa juga bisa mencanangkan diri sebagai sekumpulan pemuda yang hendak mendorong sebuah tradisi intelektual yang berorientasi pada praksis gerakan.

_Sandra Novita Sari, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia FBS UNNES

0 komentar:

Posting Komentar