Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Jumat, 29 Oktober 2010

Rumah “ITU” (Sebuah Refleksi) Oleh: Sandra Noryz*)

Rumah yang kemarin baru saja selesai dibangun dan mulai ditempati, kini tiba-tiba senyap.Ruangan di dalamnya mulai berdebu dan pengap karena jendela-jendela tempat masuknya angin sudah tertutup, pintunya pun terkunci rapat. Kemana gerangan pemilik rumah itu. Baru saja kemarin ada orang yang ingin menyambangi, dan berencana tinggal menetap di sana. Biasanya rumah itu sarat dengan suasana nyaman pun tenang. Jika pagi cahaya matahari bebas masuk dan keluar sesuka hatinya. Malam hari pun lampu akan menari dan tersenyum ramah kepada setiap mata yang melihat kearahnya. Tapi mengapa sekarang rumah itu dingin? Kemana dia? Sang pemilik rumah yang tiba-tiba menghilang meninggalkan rumah yang payah ia bangun selama beberapa bulan terakhir ini. Benar-benar aneh, rumah itu nyaris sempurna meski belum terisi oleh perkakas rumah tangga.
Rumah yang sebagian besar dindingnya terbuat dari kaca itu, nampak indah jika ada cahaya yang memantul dipermukaan kaca, membuat kesan bahwa rumah itu benar-benar indah dan megah. Kenyataan itu bertolak belakang dengan pemiliknya, yang sederhana. Seorang pemuda yang sangat “khas” kataku. Rumah yang tengah berdiri itu tak pelak mengundang seorang peneliti. Peneliti yang penasaran karena keunikan bangunannya. Hingga suatu saat sang peneliti bertandang ke rumah itu, tetapi sayang pintu rumah tak menerimanya. Hari selanjutnya ia datang lagi, tetapi ia hanya mendapati hal yang sama, lalu ia datang dan datang lagi, nyaris tiap hari ia datang tapi tak ada hasil, sehingga ia memutuskan untuk tetap berdiam di depan rumah sampai pintu rumah terbuka dan tuan rumah mempersilahkan ia masuk dan bertanya tentang maksud kedatangannya.
Gayung pun bersambut, pintu kaca terbuka sang peneliti masuk bersama perangkat intrumennya. Ia mulai bertanya, mengamati, dan memahami setiap hal yang menurutnya aneh, unik, wagu, lucu, dan tak wajar. Akhirnya pemuda itu pun menanyakan maksud peneliti, mengapa ia sampai ingin melakukan penelitian. Sang peneliti menjawabnya dengan ringan bahwa rumah ini termasuk rumah yang mempunyai arsitektur unik menurutnya. Alasan yang tidak buruk, sehingga pemuda alias tuan rumah mengizinkan peneliti untuk menyelesikan misinya. Tapi sebelum itu ia juga bertanya , apa peneliti bermaksud untuk tinggal di rumah ini atau hanya sebatas masuk dan meneliti saja. Peneliti menjawab bahwa jika diizinkan ia ingin tinggal selamanya di rumah itu. Pemuda pun tersenyum, entah senyum apa itu, meng’iya’kan atau menolak, tak jelas!
Waktupun berjalan, peneliti masih saja sibuk dengan hal yang ia teliti, sampai akhirnya ia tidak diizinkan oleh tuan rumah untuk menetap di rumah itu. Ia terpaksa keluar dengan sejuta pertanyaan, di kepalanya. “Penelitian ini belum selesai, mengapa aku harus dipaksa keluar” keluhnya dalam hati. Tapi ia tak bisa berbuat lebih banyak selain mengikuti keputusan pemuda itu. Dan dalam jarak beberapa hari, rumah itu pun kehilangan ruh. Sang pemilik pun diam-diam meninggalkannya. Kini rumah itu tak berpenghuni, peneliti tertegun dan ingin mengatakan kepada pemuda pemilik rumah itu bahwa “ Rumahmu kosong, mulai gelap, pengap, dan dingin, jika kau terlalu lama meninggalkannya maka lambat laun ia akan menetak retak lalu hancur”. Tapi pemuda itu hanya diam – berpikir - mungkin.

*) Penggiat sastra dan penulis lepas dalam Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Kabupaten Semarang

0 komentar:

Posting Komentar