Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Selasa, 09 Oktober 2012

WAJAH-WAJAH MALAIKAT Oleh: Sandra Noryz


Lagi-lagi hati ini dibuat mencelos...guruku berkata “perubahan itu pasti terjadi, tinggal kita siap atau tidak untuk menghadapinya?”...perubahan kali ini bukan cuaca, bukan jadwal, dan bukan perubahan berat badan atau semacamnya. Tapi perubahan di sini adalah berpisah. Ya... Sandra namanya. Beruntung sekali dia diberi kesempatan untuk mengenal dua orang guru yang pantas disebut “inspiring ” dan berkontribusi lebih bagi hidupnya. Guru...lagi-lagi guru yang disebut. Kalau kita kurang cerdas, bisa saja kata guru disalahartikan. Guru maling, guru lagu, guru bohong, guru wilangan, dan masih banyak lagi. Tapi definisi guru di sini adalah orang tua, sahabat, dan sosok yang sungguh luar biasa.
Awalnya...
Banyak selentingan tidak enak yang mampir ketelinga mengenai profesi itu.           
“kalau mau kaya, jangan jadi Guru!”
“jadi guru itu susah, ngurusi anak orang  gaji nggak seberapa”
“dadi guru ora bakal iso maju, mati urip yo ngono kui”

Itulah celoteh dari masyarakat pada umumnya. Ironisnya lagi, justru gurulah yang berkata demikian. Padahal jika kita mau menengok dengan hati nurani, profesi itu sungguh mulia.
Pada hakikatnya, murid akan selalu mengikuti apa kata gurunya. Maka Saya berperan di sini. Awalnya saya tidak ingin menjadi seorang guru. Pemikiran itu saya dapatkan juga dari seorang guru, dan menjelang akhir studi saya mendapat pencerahan bahwa profesi guru sangat pantas jika saya sandang. Lambat laun kepercayaan diri itupun tumbuh, dan sayapun mengikutinya. (Terima kasih  Bu Sri dan Kak Puri).
Deskripsi:
Bu Sri
Kelas XI IPA 3...disitulah pertama kali Saya berinteraksi dengan beliau. Ketika kelas X, Saya sering mendengar segala hal yang berkaitan dengan beliau dari kakak kelas. Apa saja? Galak, suka memanggil siswa, bisa membaca pikiran orang, kalau sudah benci kepada siswa maka tiada ampun bagimu. “Jadi dik, hati-hati kalau bicara dengan bu Sri!” kata kakak kelas pada waktu itu. Saya pun terpengaruh mendapatkan sosok Bu Sri sebagai momok yang harus dihindari, maka saya lebih menyukai bu Eni. Tetapi lamat-lamat saya menemukan serpihan mutiara dari kata-kata yang beliau sampaikan di dalam kelas. Perlahan serpihan demi serpihan saya kumpulkan hingga akhirnya menjadi mutiara yang utuh. Momok yang selama ini melekat, luntur sudah. Saya mendapatkan sosok utuh guru yang brillian bernama Ibu Sri Warti, yang sampai sekarang namanya tertulis “IBU” di Hp.
Pak Rasmo “Mbah Mo”
Pada awalnya sosok ini juga tidak kalah jika disebut sebagai “Guru Killer”. Itulah gelar yang  diberikan kakak kelas pada sosok guru yang satu ini. Pada tahun pertama dan kedua, Saya tidak berinteraksi dengan baik karena beliau cuti dari sekolah. Meskipun sosoknya jarang muncul selama cuti, namun nama beliau sering disebut, baik itu dari kalangan siswa maupun guru. “Oh, nek ketemu pak Rasmo entek kowe!”, itulah celetukan kakak kelas ketika berkomentar melihat siswa yang dihukum oleh salah satu guru karena berbuat kesalahan. Begitu pun ketika Saya berlatih drama untuk perpisahan kelas XII yang disutradarai oleh Pak Wargono. Ketika itu Saya masih kelas X. Ada teman yang selalu salah dalam berakting, lalu Pak Wargono marah-marah dan mogok melatih. “ Jek mending Pak Wargono, nek ketemu Pak Rasmo wes diiduni, disaduk, lan dikampleng kowe dik” begitulah kakak kelas berkomentar. Ada lagi cerita tentang guru satu ini. Sehabis olahraga ketika Saya kelas XI, ada teman yang bercerita tentang sosok beliau. “Pak Rasmo ki nek nyeneni bocah dijak mangan disek, bar kuwi lagi dikamplengi!” katanya. Lalu teman-teman berkomentar “Wah sadis yo!”.
            Aku tidak begitu mengindahkan celotehan kosong dari kakak kelas maupun teman-temanku. Aku harus bertemu dengan guru itu langsung, baru aku bisa memberikan penilaianku terhadap beliau. Tepat kelas XII, baru aku bisa bertatap muka dengan beliau pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Disitulah aku menemukan sosok yang teduh, sosok yang bisa mengajarkan sastra dari dalam hatinya sampai meneteskan air mata. Ketika itu banyak teman yang tertawa dan mengatakan lebay. Tapi aku tidak memandangnya demikian. Bagiku cara mengajar seperti ini adalah langka. Tidak semua guru bisa berlaku demikian. Lunturlah sudah doktrin yang diberikan kakak kelas dan teman-teman kepadaku mengenai sosok guru yang selama ini dianggap killer yakni Pak Rasmo.
Dua malaikat yang selalu memberiku serpihan mutiara lewat kata-katanya berupa nasihat dan masukan untuk menjalani kehidupan yang baik. “Nok, jaga salat dan kesehatan ya” itulah kalimat yang selalu ada ketika aku berkomunikasi dengan bu Sri. Kalimat yang sederhana namun ber-DAYA. Tidak bosan beliau mengingatkanku untuk tidak melupakan kewajiban utamaku kepada Tuhan, lebih dari orang tuaku sendiri. Begitu pun dengan Pak Rasmo, meski gaya bicara beliau berbeda dengan bu Sri dan kadang bercandanya sedikit fullgar, aku bisa menemukan nilai positif dari ucapan beliau. Kadang, sosok Bapak memang sedikit menempuh gaya yang berbeda dalam memberi nasihat untuk anak-anaknya.
Tidak ada kata yang tepat selain “Terima Kasih” yang kuberikan kepada sepasang malaikat itu. Bu Sri dan Pak Rasmo. Terima kasih untuk semua nasihat yang akhirnya bisa mengantarkan Saya sampai ke tahap ini.
Persembahan untuk guruku:
“Bapak Rasmo  dan Ibu Sri Warti”
Ruteng: 8 Oktober 2012
19.53 WITA

0 komentar:

Posting Komentar