Kita boleh Telanjang, tapi jangan bulat-bulat.



Selalu ingin menulis kata yang dapat memberi suntikan semangat, kata yang sederhana namun ber-Daya...bagi hidupku...^_^


Butuh advis untuk meringankan antesedan. Seenaknya menganulir dengan apatis, padahal animo hampir finish. Hanya saja apriori belum merekah, masih berupa argot-argot beku. Disparitas menciptakan elegi. Perasaan yang frontal menjadi fluktuatif. Genial..., grafologi dan futurologi tak terdeteksi. Aku bukan hipokrit pun indolen yang mengkamuflase segala. Hapus sikap skeptis karena kita butuh restorasi...!


"Selamat menyelami huruf-huruf (usang)-ku"

Senin, 21 Mei 2012

On The Trip to NTT

Selasa, 13 Desember 2011 Senja hari petualangan menuju negeri flores dimulai. Tak bisa tergambarkan bagaimana rumusan hati terbentuk. Rasa dituang dalam tatapan mata keluarga yang mengantar di auditorium UNNES. Sebuah universitas yang menjunjung tinggi jargon Konservasi. Sebuah universitas yang melahirkan pejuang kemerdekaan di pelosok nusantara yakni pendidik anak bangsa. Rasa haru tentu menyeruak dari bilik hati melihat tatapan binar dan semangat tertahan dari pendidik anak bangsa yang menguatkan keluarganya satu-per satu, mencoba menjelaskan kepada orang terkasih bahwa “Aku ingin mendidik indonesia” , kalimat yang sesungguhnya sederhana namun sulit diucapkan. Kalimat itu tetap pada tempatnya yakni hati. Roda-roda berputar, tekad yang kuat telah menyertai para pendidik sore itu dan mengantar mereka menuju Bandara Juanda Surabaya.
Rabu, 14 Desember 2011 Tepat pukul 02.00 dini hari, aku bersama pendidik yang lain telah merapat di Bandara Juanda Surabaya. Hal pertama yang terpikirkan adalah mencari sumber listrik, he sederhana namun menggelitik. “Listrik memang penting” kata salah satu pendidik. Ya, aku tidak menafikan hal itu, sumber listrik dicari untuk menge-charge Handphone yang tujuan utamanya adalah mengirim kabar bahwa “Saya sudah tiba di Juanda dengan selamat”. Tidak hanya aku, tetapi hampir semua pendidik melakukan hal yang sama memandangi layar hand phone dengan hati semarak. Ada hal yang unik (dalam tafsir kami) ketika kami mengurus bagasi. Sebagian besar dari kami, pendidik bangsa belum pernah melakukan perjalanan lewat udara, sehingga secara teknis kemampuan kami masih kurang. Terlihat jelas pada saat melihat jumlah Kg barang yang kami bawa mengalami kelebihan dalam skala besar, sehingga harus membayar dengan jumlah yang cukup banyak, wajah kami mengalami perubahan drastis dari merah menjadi putih, bukan karena kedinginan, atau karena bedak, tetapi kekagetan yang luar biasa menghinggapi kami. “Mahal sekali ya, satu kilo Rp 24000,00” kata Ana (salah satu pendidik).Aku pun mengalami hal yang serupa, apalagi kelebihan beban bagasiku mencapai 27 Kg yang jika diuangkan sebesar Rp 650.000,00. Mungkin itu masih termasuk jumlah yang kecil, namun bagi kami itu adalah jumlah yang besar, yang bisa membuat makanan enak di depan kami menjadi utuh tak tersentuh hehe. “Sudahlah, nanti uangnya diganti” kata tour leader kami, sontak mendengar hal itu makanan yang tadinya utuh didepan kami telah raib. Merpati airlines mengantarkan kami ke tujuan. Sebuah pulau yang baru pertama kali kami kunjungi, Flores namanya. Flores berasal dari bahasa latin yang berarti bunga, jadi bisa disimpulkan bahwa Pulau Flores adalah pulau yang penuh dengan bunga. Pulau ini terletak di provinsi Nusa Tenggara Timur yang baru-baru ini meluncurkan aset berharganya ke ajang tujuh keajaiban dunia yakni pulau komodo. Saat kali pertama menginjakkan kaki di Pulau Flores, suhu panas sangat mengigit kulit. Penyesuaian suhu tentu terjadi secara alamiah. Bandara kebanggaan Nusa Tenggara Timur bagian barat “Labuan Bajo” yang pertama menyambut kami. Tak pelak ketika menapakkan kaki di sana, ada perasaan asing yang mengaduk hati. Perasaan takjub, perasaan senang telah mendarat dengan selamat, perasaan sedih, dan perasaan bingung. Semua bercampur jadi satu di dalam hati. Tak bisa diungkapkan, hanya bisa tertahan. Bandara ini tergolong sepi, hanya terdapat satu bangunan memanjang tak besar. Penerbangan yang dilakukan setiap hari juga hanya dua kali pada satu maskapai, itupun hanya bisa dilakukan pada pagi hari, jika sore hari kabut akan menghalangi penglihatan. Setelah lama menunggu bagasi, akhirnya para pendidik melanjutkan perjalanan menuju Kabupaten Manggarai menggunakan Bus dan melewati jalan yang luar biasa mengocok perut, tak sedikit pendidik yang merasa mual dibuatnya. Pengalaman kami semakin lengkap dengan kempesnya ban bus di puncak bukit tertinggi daerah Manggarai Barat. Udara sangat dingin menusuk tulang membuat kami selalu ingin ke kamar mandi, sedangkan daerah itu tidak ada air. “Tak apalah, inilah resikonya” kataku menghibur diri. Bus meluncur dengan kencangnya hingga mengantarkanku menuju lokasi yang mulanya asing. Asing di sini adalah karena aku baru saja melihatnya pada saat terjaga karena sepanjang perjalanan mata ini tertutup. Mulanya seperti mimpi, berada di dalam hutan dengan kabut yang sangat tebal. Masih dituntut menuju ke lokasi bernama Santa Clause tepat diatas perbukitan. Untung saja aku dibantu oleh anak tangga yang menjulur seakan menawarkan diri. Tiba dilokasi dengan payah setelah perjalanan sehari yang memberikan sugesti luar biasa tentang wajah pengabdian yang sebenarnya. Pukul 23.00 WITA semua hening.

0 komentar:

Posting Komentar