Sandra
Novita Sari yang kerap disapa Sandra dan mempunyai nama kecil Vita lahir pada
tanggal 19 Juli 1989 di Sukabumi, Jawa Barat tepatnya di asrama Yon Armed 13
Cikembang. Ia lahir dari sebuah keluarga kecil yang sangat sederhana. Buntoro
adalah Ayahnya, dan Mirah Lestari adalah Ibunya. Pekerjaan ayahnya adalah TNI
dan ibunyan hanya sebagai ibu rumah tangga. Masa kecilnya dipenuhi dengan rasa
senang meski orang tuanya bekerja keras menghidupinya, untuk membeli susu
kalengnya saja harus menjual sepati PDH, sepatu jatah yang diberikan kantor.
“Kala itu tahun 1990 harga untuk sepasang sepatu PDH adalah Rp 10.000, cukup
untuk persediaan susu kaleng sebulan” ungkap Sandra. Masa kecilnya dihabiskan
di TK Nanggala Persit Kartika Candra Kirana selama 2 tahun. Setelah itu, ia pun
harus mengikuti Ayahnya pindah tugas ke Sulawesi Tenggara yang merupakan
kampung halaman Ayahnya. Sembari menunggu proses pindah usai, ia di titipkan di
rumah neneknya (dari Ayah) di Ds. Trimulyo, Kayen, Pati, Jawa Tengah untuk
melanjutkan sekolah ke tingkat SD. Belum genap setahun ia mengenyam pendidikan
di SD Trimuyo 02 Kayen, ia pun harus mengikuti orang tuanya ke Sulawesi
Tenggara. Sembari menunggu plotingan
tempat tugas ayahnya, ia harus rela di titipkan lagi di rumah neneknya (dari
Ayah) di Ds. Ereke, Lipu, Buton, Sulawesi Tenggara. Sandra melanjutkan SDnya sampai naik ke kelas
2 SD. Pindahlah ia ke Ds. Kamaru, Lasalimu, Buton. Sebuah desa tempat Ayahnya
bertugas. Desa yang jauh dari tempat neneknya di Ereke. Ia harus menempuh
perjalanan laut dengan kondisi keras ombak. Bagi seorang anak kecil yang baru
kali pertama menaiki kapal kecil dengan goyangan yang cukup fantastis merupakan
perjalanan yang tidak ringan baginya. Ia sampai mabuk beberapa kali karena
perutnya tidak mampu menahan guncangan kapal. SDN 01 Kamaru yang menemaninya
selama 3 tahun. Ia harus membantu orang tuanya dengan berjualan es lilin di
sekolah. Es lilin dibuat oleh Ibunya dan dititipkan di kulkas tetangganya. Pada
musim kemarau, setiap sore ia harus mencari air dari sumur Belanda dengan
membawa beberapa dirgen.
Sosok
yang sangat menginspirasi dirinya kala itu adalah Ayahnya. Ia bangga mempunyai
Ayah seorang TNI yang bisa melatih paskibraka, yang bisa menjadi komandan
upacara, yang selalu menanamkan rasa percaya diri padanya. Percaya bahwa ia
adalah anak pintar sehingga harus mendapat peringkat 1 di kelas, percaya bahwa
ia anak yang bisa menghafalkan UUD 1945, pancasila, sumpah pemuda, proklamasi,
27 provinsi, perkalian 1-10 pada usianya yang ke-9. Sandra tak pernah putus asa
ketika harus tidur larut demi menyetorkan hafalannya pada Ayahnya di esok harinya.
Ayahnyalah yang selalu menanamkan jiwa nasionalisme dengan selalu mengajaknya
mengibarkan dan menurunkan bendera di depan Koramil, Ayahnyalah yang
mengajarkan ia naik sepeda, Ayahnyalah yang mengajarkan renang di laut. Setiap
pulang sekolah ia berlatih renang mulai pukul 13.00 WITA-17.00 WITA di
pelabuhan dengan Ayahnya. Pada akhir caturwulan Sandra selalu mendapat
peringkat 1 dan mendapatkan hadiah buku dari Ayahnya. Sosok yang selalu berkata
“Anak TNI tidak boleh cengeng, anak TNI harus mandiri, anak TNI harus prasojo (sederhana),
anak TNI harus pintar, anak TNI tidak boleh mengeluh kalau sedang kesulitan,
dan anak TNI tidak boleh pacaran kalau masih sekolah” kenang Sandra.
Doktrin-doktrin ringan namun menjadi kekuatannya dalam menjalani kehidupan yang
keras. Sosok kedua adalah Ibu. Ibu adalah wanita yang terbaik di dunia. Ibu
tidak pernah mengeluh meski kondisi ekonomi sangat sulit. Ibu tidak pernah
mengeluh meski sakit, dan yang pasti Ibu adalah sosok yang sangat berjasa bagi
Sandra.
Belum
sempat Sandra Menamatkan sekolahnya di SDN 01 Kamaru, ia harus mengikuti
ayahnya pindah tugas lagi ke Ds. Wajah Jaya, Siontapina, Lasalimu, Buton.
Jangan dibayangkan jarak satu desa dengan desa yang lain dekat. Ia harus
menempuh jarak 30 km untuk bisa sampai ke desa barunya. Pada awalnya ia
mengeluh karena harus selalu pindah ketika sudah mulai akrab dengan
teman-temannya. Namun Ayahnya hanya berkata “Bapak ini tugas Vit, anak TNI
tidak boleh banyak mengeluh” kenang Sandra dan ia hanya bisa terdiam
mendengarnya. Sampai di Ds. Wajah jaya ia bersekolah di SDN 01 Zam-zawiyah
Bhar. SD yang selalu banjir ketika hujan sehingga Sandra harus bertelanjang
kaki ketika sekolah, SD yang anak-anaknya bermain dengan kotoran sapi. Sebagian
besar anak-anak yang bersekolah di sana adalah anak penduduk eksodus, penduduk
yang transmigrasi dari luar pulau yakni Ambon, Lombok, dan Papua. Setiap sore ia bermain dengan teman-temannya
dengan membuat rumah pohon. Sungguh masa kecil yang indah. Mulai dari kelas 4
sampai ia kelas 6 ia habiskan di sekolah itu.
Suatu ketika Ayahnya membeli genarator dan TV, Sandra pun tidak membuang
keempatan yang bagus itu. Ia mengajak teman-temannya untuk menonton di rumahnya
pada malam hari dan setiap hari minggu sambil belajar. Namun ternyata berita
bahwa di rumahnya terdapat TV mengundang
masyarakat untuk berbondong-bondong datang ke rumahnya. Kala itu belum ada
listrik dan jarang sekali yang memiliki generator. Rumah Sandra sarat manusia.
Akhirnya muncul ide untuk membantu orang tuanya. Setiap malam dan hari minggu
ia duduk menunggu orang datang menonton dengan membawa baskom guna memungut
biaya Rp 1.000 untuk orang dewasa dan Rp 500 untuk anak kecil. Hasilnya tidak
mengecewakan, setiap malam ia mendapat Rp 10.000 – Rp 15.000 dan untuk hari
minggu ia mendapat Rp 15.000- Rp 25.000. Lumayan bisa membantu Ayah untuk
membeli solar dan untuk tambahan uang jajannya. Kehidupan yang indah
.
Tahun
2000 lulus SD ia harus mau di pisahkan dari kehidupan keluarganya. Dengan
alasan yang di lontarkan Ayahnya, Sandra tidak bisa berbuat lebih. Ia harus mau
bersekolah di Jawa, ikut neneknya ( dari Ibu). Berat awalnya, ketika ingin
menangis ia teringat ucapan Ayahnya (anak TNI tidak boleh cengeng), ketika
ingin berontak dengan tidak belajar ia teringat (anak TNI harus pintar), ketika
ingin mengeluh dan manja ia teringat (anak TNI tidak boleh manja dan mengeluh).
Begitulah hari-hari Sandra di Pati. Ia masuk di SMP swasta SMP 6 PGRI Kayen,
Pati karena ijazah SDnya telat dikirim dari Sulawesi. Ketika ingin mendaftar ke
sekolah negeri sudah penutupan jadilah ia bersekolah di sekolah yang sangat
tidak favorit di kecamatannya. Meski begitu ia tak patah semangat, ia harus
berjuang demi membuat orang tuaya bangga. Selama bersekolah di sana, ia selalu
mendapat peringkat pertama. Pada akhir tahun ia memutuskan untuk pidah ke
sekolah negeri, namun ia harus mengulang di kelas satu lagi karena peraturannya
begitu. Tak apalah, demi bisa bersekolah di sekolah negeri ia rela mengulang setahun di kelas 7 SMP.
Jarak SMP dari rumah neneknya adalah 13 Km. 1 Km harus Sandra tempuh dengan
bersepeda dan 12 km lagi menggunakan bus. Setiap hari ia hanya membawa uang Rp
1000. Uang tersebut digunakan untuk transportasi. Tak jarang ia membawa bekal
air dan nasi dari rumah. Terkadang jika kiriman dari orang tua sedang tidak
lancar, ia hanya membawa uang Rp 500 saja untuk berangkat dan pulangnya mencari
tumpangan truk. Beruntung ia mendapatkan beasiswa siswa teladan dari sekolah
dan bisa sedikit meringankan beban orang
tuanya. Masa SMP usai sudah, ia menamatkan sekolahnya di SMP N 1 Margorejo,
Pati.
Tahun
2004 ia memutuskan untuk mencari sekolah yang dekat dengan rumah neneknya yang
meski tidak membawa uang ia bisa tetap masuk sekolah. SMA Negeri 1 Kayen adalah
sekolah yang terdekat dan berjarak 2 Km dari rumahnya. Dengan berbekal sepeda
ia berangkat ke sekolah. Selama sekolah ia mendapat beasiswa bakat dan prestasi
dan mengikuti organisai OSIS, Pramuka, Pecinta alam, dan PMR. Tahun pertama ia
jalani dengan niat dan semangat yang kuat untuk bisa lebih baik sampai akhirnya
ia menemukan sosok guru yang luar biasa. Guru itulah yang menginspirasi Sandra
untuk membelokkan cita-cita yang tadinya ingin menjadi dokter beralih menjadi
seorang guru. Guru itu adalah Ibu Sri Warti. “Awalnya aku takut dengan beliau
karena bicaranya ceplas- ceplos, namun lambat laun aku menemukan serpihan
mutiara dari kata-katanya, kata-kata beliau yang sejuk dan menggugah semangat
menjadi motivasi buatku dalam meraih masa depan” kata Sandra. Selama 3 tahun ia
berusaha untuk membanggakan kedua orang tuanya, namun pada tahun terakhir
sekolahnya, Ibunya pergi meninggalkannya. Saat-saat persiapan ujian nasional
justru Sandra mendapat ujian yang luar bisa dengan kehilangan Ibu yag ia
cintai. Pada tanggal 30 Januari 2007 Ibu Mirah Lestari berpulang ke rahmatullah.
Luar biasa goncangan yang ia hadapi, semua guru dan teman-temannya memberikan
dukungan moral agar Sandra bisa mengikuti ujian nasional. Pada waktu itu Ibunda
Sandra berada di Sulawesi Tenggara sehigga ia harus segera mengunjungi jasad
Ibunya sebelum di makamkan. Namun apa hendak di kata, ia harus menunggu
pamannya pulang dari Papua agar bisa
mengantarnya ke Sulawesi Tenggara. Alhasil ia tidak bisa melihat wajah
Ibunya untuk yang terakhir kaliya. Ia hanya harus menunggu sampai bisa pulang
kampung dan hanya bertemu dengan nisan Ibunya.
Sandra
tetap berjalan lurus ke depan untuk meraih cita-citanya, namun ia bingung
ketika akan menentukan jalan mana yang ia pilih, ingin menjadi apa ia kelak,
masih buram sepeninggal Ibunya. Sosok Bu Srilah yang berjasa baginya dalam
menentukan masa depan. Berkat Bu Sri Sandra bisa memilih Universitas yang
sesuai untuknya yakni UNNES, Universitas Negeri Semarang. Universitas itu
adalah univesitas kependidikan yang mencetak guru-guru masa depan, Sandra
dirasa sangat cocok untuk menjadi guru karena potensi yang ia miliki. Tahun
pertama ia kuliah, ia sangat sulit untuk beradaptasi dengan lingkungan,
teman-temannya, dosen-dosennya membuatnya muak. Sandra tinggal bersama dengan
pamannya yang berprofesi sebagai polisi di Kota Semarang. Selama setahun ia
merasa banyak merepotkan pamannya sehingga ia memutuskan untuk tinggal di
pesantren. Sebelumnya ia tidak mempunyai pengalaman menjadi santri, namun
karena keterbatasan ekonomi ia memutuskan untuk masuk pesantren karena biayanya
murah, hanya membayar Rp 200.000
perbulan sudah mendapatkan makan pagi dan malam dibandingkan dengan ia kos yang
biayanya Rp 600.000 perbulan tanpa mendapat makan. Pada tahun 2008, Sandra
sudah semester 3, dia mengikuti organisasi pramuka dan ling art (perkumpulan
mahasiswa yang suka menulis karya ilmiah), ia pun mengajukan beasiswa PPA namun
nasib baik tak berpihak padanya. Ia tak patah arang, Sandra mencoba mengajukan
beasiswa Supersemar dan ia di terima.
Meski jumlah uang supersemar setengah dari jumlah uang PPA, Sandra tetap
bersyukur. Tahun 2008, ia sukses dalam dunia karya ilmiah sehingga bisa
mewakili Universitasnya ke tingkat nasional di Universitas Tanjung Pura,
Pontianak, Kalbar. Kali pertamanya mendapat pengalaman yang sungguh luar biasa
bisa bertemu dengan teman-teman lain universitas dalam ajang bergengsi tersebut.
Sayangnya ia gagal meraih juara 1 dan pulang dengan tangan kosong. “Mungkin
belum saatnya” Kata Sandra untuk menghibur diri. Ia tetap tidak berhenti, ia
terus mengikuti lomba penulisan cerpen, lomba karya ilmiah, lomba baca puisi,
lomba menulis essai, yang jika menang uangnya bisa ia guakan untuk membayar
kuliah karena Ayahnya sudah tidak mau membiayai kuliahnya dengan alasan Sandra
tidak mau tinggal di Sulawesi. Ya Sandra tetap bersikukuh untuk tinggal di Jawa
meski ia sudah mendapatkan SK magang dari Bupati Buton sebagai tenaga
administrasi. Alasan itulah yang membuat Ayahnya untuk menghentikan semua biaya
kuliahnya. Sandra harus berjuang untuk membayar kuliah dan menghidupi dirinya
sendiri. Selama di Pondok pesantren, ia
jarang sekali mengikuti pengajian, sehingga ia memutuskan untuk pindah tempat.
Sandra pindah ke Pondok Pesantren yang lebih murah dengan biaya Rp 20.000
perbulan dan memasak sendiri. Namun kendalanya, meski murah pondok pesantren tersebut berjarak
9 km dari kampus sehingga Sandra memutuskan untuk membeli motor bekas dengan
uang tabungannya dan di bantu oleh dosennya ia mendapat motor supra fit seharga
Rp 6 juta. Dengan berbekal motor itu ia bisa mendapatkan penghasilan tambahan
dengan les privat dan menjadi guru TPQ.
Pada
tahun 2009, ia sudah semester 5 dan mengikuti seleksi kegiatan PERKEMPINAS
(Perkemahan Pramuka Putri Tingkat Nasional) yang bertempat di Buper Samparona,
Bau-bau, Buton Sultra. Ya, akhairya ia bisa pulang kampung bertemu dengan
keluarganya. Ia mewakili JATENG dalam kegiatan tersebut dan berhasil menyabet
piala Juara 1 dalam Lomba Karya Tulis sehingga JATENG mendapatkan predikat
Juara Umum. Sandra sangat bahagia karena bisa bertemu dengan keluarganya setelah
kematian Ibunya pada tahun 2007 ia tidak pernah menginjakkan kaki di Sultra.
Tahun
demi tahun ia jalani sampai akhirnya ia bisa lulus dan menyandang gelar SARJANA
PENDIDIKAN. Ia lalu meengikuti program SM-3T, sebuah program yang dilahirkan
oleh Kemendikbud. Ia mendapat tempat tugas di Manggarai, NTT dan sekarang sedang mengikuti pendidikan profesi guru di
UNNES.
4 komentar:
mbak Sandra keren ... ^^
semoga terus berjaya
Sampeyan hebat mbak, luar biasa :-)
orang sukabumi ya bak,, berarti kita tetanggaan,, salam kenal bak
Posting Komentar