Lagi-lagi hati ini dibuat
mencelos...guruku berkata “perubahan itu
pasti terjadi, tinggal kita siap atau tidak untuk menghadapinya?”...perubahan
kali ini bukan cuaca, bukan jadwal, dan bukan perubahan berat badan atau
semacamnya. Tapi perubahan di sini adalah berpisah. Ya... Sandra namanya.
Beruntung sekali dia diberi kesempatan untuk mengenal dua orang guru yang
pantas disebut “inspiring ” dan
berkontribusi lebih bagi hidupnya. Guru...lagi-lagi guru yang disebut. Kalau
kita kurang cerdas, bisa saja kata guru disalahartikan. Guru maling, guru lagu,
guru bohong, guru wilangan, dan masih banyak lagi. Tapi definisi guru di sini
adalah orang tua, sahabat, dan sosok yang sungguh luar biasa.
Awalnya...
Banyak selentingan tidak enak yang mampir ketelinga
mengenai profesi itu.
“kalau mau kaya,
jangan jadi Guru!”
“jadi guru itu
susah, ngurusi anak orang gaji nggak
seberapa”
“dadi guru ora
bakal iso maju, mati urip yo ngono kui”
Itulah celoteh dari masyarakat pada umumnya.
Ironisnya lagi, justru gurulah yang berkata demikian. Padahal jika kita mau
menengok dengan hati nurani, profesi itu sungguh mulia.
Pada hakikatnya, murid akan selalu
mengikuti apa kata gurunya. Maka Saya berperan di sini. Awalnya saya tidak
ingin menjadi seorang guru. Pemikiran itu saya dapatkan juga dari seorang guru,
dan menjelang akhir studi saya mendapat pencerahan bahwa profesi guru sangat
pantas jika saya sandang. Lambat laun kepercayaan diri itupun tumbuh, dan
sayapun mengikutinya. (Terima kasih Bu
Sri dan Kak Puri).
Deskripsi:
Bu
Sri
Kelas XI IPA 3...disitulah pertama
kali Saya berinteraksi dengan beliau. Ketika kelas X, Saya sering mendengar
segala hal yang berkaitan dengan beliau dari kakak kelas. Apa saja? Galak, suka
memanggil siswa, bisa membaca pikiran orang, kalau sudah benci kepada siswa
maka tiada ampun bagimu. “Jadi dik,
hati-hati kalau bicara dengan bu Sri!” kata kakak kelas pada waktu itu.
Saya pun terpengaruh mendapatkan sosok Bu Sri sebagai momok yang harus
dihindari, maka saya lebih menyukai bu Eni. Tetapi lamat-lamat saya menemukan
serpihan mutiara dari kata-kata yang beliau sampaikan di dalam kelas. Perlahan
serpihan demi serpihan saya kumpulkan hingga akhirnya menjadi mutiara yang
utuh. Momok yang selama ini melekat, luntur sudah. Saya mendapatkan sosok utuh
guru yang brillian bernama Ibu Sri
Warti, yang sampai sekarang namanya tertulis “IBU” di Hp.
Pak
Rasmo “Mbah Mo”
Pada awalnya sosok ini juga tidak
kalah jika disebut sebagai “Guru Killer”.
Itulah gelar yang diberikan kakak kelas
pada sosok guru yang satu ini. Pada tahun pertama dan kedua, Saya tidak
berinteraksi dengan baik karena beliau cuti dari sekolah. Meskipun sosoknya
jarang muncul selama cuti, namun nama beliau sering disebut, baik itu dari
kalangan siswa maupun guru. “Oh, nek
ketemu pak Rasmo entek kowe!”, itulah celetukan kakak kelas ketika
berkomentar melihat siswa yang dihukum oleh salah satu guru karena berbuat
kesalahan. Begitu pun ketika Saya berlatih drama untuk perpisahan kelas XII
yang disutradarai oleh Pak Wargono. Ketika itu Saya masih kelas X. Ada teman
yang selalu salah dalam berakting, lalu Pak Wargono marah-marah dan mogok
melatih. “ Jek mending Pak Wargono, nek
ketemu Pak Rasmo wes diiduni, disaduk, lan dikampleng kowe dik” begitulah
kakak kelas berkomentar. Ada lagi cerita tentang guru satu ini. Sehabis
olahraga ketika Saya kelas XI, ada teman yang bercerita tentang sosok beliau. “Pak Rasmo ki nek nyeneni bocah dijak mangan
disek, bar kuwi lagi dikamplengi!” katanya. Lalu teman-teman berkomentar “Wah sadis yo!”.
Aku tidak begitu mengindahkan
celotehan kosong dari kakak kelas maupun teman-temanku. Aku harus bertemu
dengan guru itu langsung, baru aku bisa memberikan penilaianku terhadap beliau.
Tepat kelas XII, baru aku bisa bertatap muka dengan beliau pada mata pelajaran
bahasa Indonesia. Disitulah aku menemukan sosok yang teduh, sosok yang bisa
mengajarkan sastra dari dalam hatinya sampai meneteskan air mata. Ketika itu
banyak teman yang tertawa dan mengatakan lebay.
Tapi aku tidak memandangnya demikian. Bagiku cara mengajar seperti ini adalah
langka. Tidak semua guru bisa berlaku demikian. Lunturlah sudah doktrin yang
diberikan kakak kelas dan teman-teman kepadaku mengenai sosok guru yang selama
ini dianggap killer yakni Pak Rasmo.
Dua malaikat yang selalu memberiku
serpihan mutiara lewat kata-katanya berupa nasihat dan masukan untuk menjalani
kehidupan yang baik. “Nok, jaga salat dan
kesehatan ya” itulah kalimat yang selalu ada ketika aku berkomunikasi
dengan bu Sri. Kalimat yang sederhana namun ber-DAYA. Tidak bosan beliau
mengingatkanku untuk tidak melupakan kewajiban utamaku kepada Tuhan, lebih dari
orang tuaku sendiri. Begitu pun dengan Pak Rasmo, meski gaya bicara beliau
berbeda dengan bu Sri dan kadang bercandanya sedikit fullgar, aku bisa menemukan nilai positif dari ucapan beliau.
Kadang, sosok Bapak memang sedikit menempuh gaya yang berbeda dalam memberi
nasihat untuk anak-anaknya.
Tidak ada kata yang tepat selain “Terima
Kasih” yang kuberikan kepada sepasang malaikat itu. Bu Sri dan Pak Rasmo. Terima
kasih untuk semua nasihat yang akhirnya bisa mengantarkan Saya sampai ke tahap
ini.
Persembahan untuk guruku:
“Bapak Rasmo dan Ibu Sri Warti”
Ruteng: 8 Oktober 2012
19.53 WITA
0 komentar:
Posting Komentar