Mampau
adalah sebuah kampung yang terletak di desa SatarLuju Kecamatan Satarmese Barat.
Sebenarnya kecamatan ini bukanlah tempat tugasku. Aku hanya
pergi pesiar (berkunjung) ke tempat tugas rekan SM-3T yang bertugas di SMP N 8
Satarmese. Kecamatan ini sangat jauh dari kota kabupaten, jika ditempuh dengan
menguunakan Oto Kol (sebuah kendaraan khas Manggarai) memakan waktu 4-8 jam.
Tak menyangka pengalaman terburuk selama hidupku terjadi di kampung Mampau.
Sabtu, 31 Desember 2011
Akhirnya
dengan berbagai pertimbangan aku memutuskan untuk berangkat ke pulau Mules hari
ini. Terpaksa aku meninggalkan 3 orang temanku yang sebenarnya ingin ikut.
Namun apa boleh buat, tekadku sudah bulat untuk menuju ke pulau Mules. Akhirnya
hanya aku dan Aran yang berangkat, susah payah aku membujuknya untuk ikut,
bukan apa-apa hanya agar aku tidak sendirian dari Ruteng. Pukul 08.00 WITA aku
menuju ke rumah kepala sekolah SMP N 8 Satarmese Barat di Ruteng, karena
rencananya aku akan menumpang mobil carteran kepala sekolah temanku. Aku
diantar oleh Mansur sementara Aran menyewa jasa ojek. Aku pikir, ketika tiba di
rumah kami langsung berangkat ternyata pukul 11.00 WITA baru berangkat. Untuk
kali ini kami melalui jalur yang berbeda dengan jalur oto sehingga jarak yang
tadinya dapat ditempuh selama 5 jam, bisa kami tempuh selama 3 jam saja.
Pukul
15.00 WITA kami tiba di dusun Dintor, Satarmese Barat. Cuaca kali ini tidak
mendukung untuk menyebrang ke pulau sehingga kami harus menunggu hujan reda dan menunggu jemputan pendidik bangsa yang sudah berada di pulau. Lama
sekali kami menunggu di Masjid dengan kondisi perut lapar, lalu kami memutuskan
untuk membeli mie instan dan memasaknya di rumah warga. Tepat pukul 17.00 WITA
jemputan kami datang, terlihat Mas Orchid dan Pipop yang berada di atas perahu.
Merekalah yang akhirnya datang menjemput kami, sungguh persahabatan yang luar
biasa.
Awalnya
kupikir kami akan bergabung dengan masyarakat pulau mules, tetapi perahu yang
kami naiki berputar menuju ke pantai pulau mules yang tidak berpenghuni. Rasa
senang tiba-tiba hinggap dalam benakku melihat pemandangan yang begitu luar
biasa. Laut yang sungguh biru, pasir yang sungguh putih, semua terlihat sangat
mengangumkan. Kami menginap dengan sebuah tenda di pantai tak berpenghuni,
pengalaman pertama bagiku ditengah suasana pergantian tahun. Tidak pernah
sebelumnya aku merayakan pergantian tahun dengan suasana seperti ini. Aku, Atun,
Zaenal, dan Alfi langsung berlari sepanjang pantai seperti orang yang belum
pernah melihat pemandangan indah, tapi memang sebenarnya iya, hehe...kami
berlari dengan riangnya sembari mengabadikan moment dalam bentuk gambar tanpa
terasa matahari sudah terbenam.
Malam
hari begitu gelap, kami hanya bisa membuat penerangan dengan api unggun. Di tempat itu tidak ada signal
apalagi listrik, jadi kami seolah-olah tersesat di hutan padahal tidak. Tanpa
diduga-duga hujan turun dengan derasnya dan membuyarkan api kami juga
melumpuhkan aktivitas kami. Hanya satu tenda yang menyelamatkan kami malam itu,
semua pendidik bangsa berteduh dalam tenda yang sempit itu. Sangat tidak
seimbang dengan jumlah pendidik bangsa yang banyak, akhirnya kami hanya bisa
duduk saja meratap kedinginan sepanjang
malam sambil memantau air pasang. Hujan kali ini begitu lebat sampai memaksa
kami untuk tetap terjaga hingga pagi hari. Luar biasa, malam tahun baru yang aneh
sekaligus menyenangkan bagi kami.
Minggu,
1 Januari 2012
Pagi
harinya kami memutuskan untuk berjalan memutari pulau mules. Sikap bodoh kami
muncul dengan menanggalkan alas kaki karena berpikir selama perjalananan hanya
pasir putih saja yang menemani, tetapi kenyataannya berbeda kami harus memasuki
hutan untuk memotong jalan dan melihat mercusuar. Hutan belukar dipenuhi dengan
semak duri yang kami temui. Sepanjang perjalanan kami meraung kesakitan karena
meskipun kami sudah berusaha menghindari duri, tetap saja kena.” Haduuh...kakiku sakit, mas kita keluar aja
dari hutan. Kakinya nggak kuat, lewat pantai nggak apa-apa lah meski jauh yang penting kaki selamat” kata
Atun. Akhirnya Mas Orchid memutuskan untuk ke pantai. Ternyata di pantai, kaki
kami seperti digoreng dengan pasir panas. “Wahh...sama
aja kalau begini mah” kataku. Terdengar tawa bersamaan dari teman-teman
yang sependapat denganku.
Perjuangan
kami menembus panas tidak sia-sia, akhirnya kami sampai di Labuah Taur dengan
selamat. Meski sempat dijemput dengan kapal kecil karena ada sedikit
kesalahpahaman. Siang itu kami langsung menuju Dintor karena kami mendapat
kabar dari penduduk Labuan Taur bahwa sebentar lagi akan ada badai. Sesampai
di Dintor aku berniat untuk mengunjungi teman yang bertugas di SMP N 8
Satarmese Barat tepatnya di kampung Mampau. Setelah lama mengunggu bemo
akhirnya kami sampai di Mampau. SMP N 8 Satarmese Barat terletak di atas bukit
yang merupakan lahan baru sehingga belum ada jalan yang menghubungkan dengan
pemukiman penduduk. Gerbang sekolah menghadap ladang tidak ada jalan di depannya.
Untuk menuju sekolah hanya ada jalan setapak. Kebetulan temanku tinggal di
sekolah, jadi aku juga harus tidur di sekolah yang baru 2 tahun berdiri itu.
Sore harinya aku membantu Zaenal untuk mengambil air yang jaraknya cukup jauh
dari sekolah. Kami harus naik turun bukit dulu hingga bisa sampai ke laut.
Ya...air yang digunakan untuk keperluan sehari-hari adalah air payau, semua
penduduk kampung Mampau juga menggunakannya sehingga harus menunggu air surut
terlebih dahulu dan harus bergegas sebelum air laut kembali pasang. Sungguh
pemandangan yang jarang aku temui, namun sangat asyik jika dilakukan
bersama-sama. Aku membawa air 10 liter menuju ke sekolah sedangkan Zaenal
membawa 15 liter air.
Malam
harinya kami mengisi daya baterai Hp ke rumah penduduk yang berjarak 400 meter
dari sekolah. Di kampung Mampau belum ada listrik, tetapi ada sebagian penduduk
yang menggunakan jenset dari pukul 18.00-22.00 WITA. Usai salat isya dan makan
kami langsung menuju ke rumah penduduk. Kami menembus hutan basah dengan jalan
setapak yang gelap, hanya senter yang menerangi jalan kami. Setiba di rumah
penduduk kami disambut dengan hangat, keramahan penduduk malam itu menahan kami
hingga pukul 22.00 WITA. Jenset sudah mati, kami pun berpamitan untuk kembali
ke sekolah. Malam semakin pekat ketika kami kembali menembus hutan basah yang
gelap. Kali ini aku berjalan di depan dengan bekal senter Hp yang redup aku
memimpin. Suasana sunyi, hingga tampak begitu menyeramkan, aku pun memulai
pembicaraan dengan Atun untuk mengusir ketakutan. Ditengah keheningan tiba-tiba
aku berteriak “Aduh...kakiku digigit apa
ini?”, sontak teman-teman menghampiriku sembari melihat kakiku yang
berdarah dengan dua bekas gigitan. “Wah
ular itu... sedot Pop!” kata Aran panik. Tanpa berpikir panjang Pipop
menyedot luka bekas gigitan yang ada di kakiku, setelah itu mereka memutuskan
untuk kembali ke pemukiman penduduk agar aku mendapatkan pertolongan pertama.
Ketika itu aku belum merasakan apa-apa, hanya sedikit perih pada luka bekas
gigitan saja. Sesampai di rumah penduduk, aku dibaringkan di tempat tidur
sembari menunggu minyak gosok nona mas. Rasa nyeri tiba-tiba menjalar keseluruh
sendi urat, mulai dari pangkal paha sampai ujung jari kaki.
Luar
biasa...baru kali pertama aku merasakannya. Penduduk sekitar berdatangan untuk
melihatku, berbagai cara mereka lakukan seperti memberi minyak gosok dan
menaburi lukaku dengan isi baterai yang berwarna hitam, sampai meludahi lukaku
tetapi tidak sedikit pun mengurangi rasa sakit yang menyiksaku semalaman.
Antara hidup dan mati saja, rasaku demikian. Atun, Pipop, Zaenal, Mbak Alfi,
dan Aran selalu berada di sampingku dan menjagaku semalam suntuk. Tidak ada
yang kurasakan selain, nyeri, ngilu, dan sakit di tulang paha sampai kaki.
Tuhan...tolong akhiri penderitaan ini saja, pintaku dalam hati.
Senin,
2 Januari 2012
Ayam
mulai berkokok, tanda fajar menjelang. Aku masih saja berkutat dengan kesakitan
yang sangat sementara teman-teman di sekitarku masih memejamkan mata karena
kelelahan menjagaku semalam suntuk. Air mata tak berhenti mengalir, sakit yang
tadinya sampai ke pangkal paha kini sudah mulai turun sampai ke lutut. Memang
benar prediksi penduduk sekitar, jika terkena racun atau bisa hanya diberi
minyak nona mas saja pasti tidak akan bengkak. Kakiku memang tidak bengkak,
tetapi sakitnya lebih sakit dari dirajam-rajam. Pagi hari satu persatu
teman-teman mulai membuka mata. “Gimana
San rasanya, masih sakit?” tanya Pipop. “Masih...” jawabku lirih. Teman-temanku mulai mencari solusi atas
kesakitanku. “Bagaimana kalau dibawa ke
puskesmas terdekat?” kata Jaenal membuka jalur percakapan. “Maksudmu puskesmas Narang” sahut Atun.
Puskesmas paling dekat dari kampung Mampau terletak di desa Narang yang dapat
ditempuh dengan
sepeda motor selama 1 jam. Akhirnya tanpa berpikir panjang lagi, teman-teman
memutuskan untuk membawaku ke Narang melihat kondisiku yang sudah tak berdaya
melawan racun ular ditubuhku. Pipop, Jaenal, dan Aran mengangkatku menuju jalan
raya yang berjarak 500 m dari kampung Mampau. Kondisi jalan berbatu terjal dan
menurun menjadi kendala, sehingga setiap beberapa menit mereka harus berhenti
untuk istirahat.
Mampau-Narang
adalah perjalanan yang melelahkan kataku. Bagaimana tidak, aku harus berjejal
dengan tukang ojek dan Pipop dibelakangku dengan jalan yang rusak dan kondisi
motor yang kurang fit. Belum lagi aku harus mengangkat kakiku untuk menghindari
semak belukar di pinggir jalan, menahan sakitku selama satu jam perjalanan.
Sungguh penderitaan yang tidak ingin kuulang. Sesampai di Puskesmas Narang,
lega rasanya karena sebentar lagi aku akan lepas dari penderitaan ini. Namun
hasilnya nihil, puskesmas kosong. Tidak ada satu pun dokter, perawat, atau
bidan yang berjaga di sana. Dongkol sekali rasanya hati ini, tak bisa berbuat
banyak hanya sesal yang memenuhi sudut hati. Pipop tidak kehabisan akal, ia
lalu berniat ke rumah salah satu bidan di desa itu. Lagi-lagi nihil, ibu bidan
sedang pergi ke kota. Malangnya nasibku, menjadi bola yang hanya berputar-putar
di lapangan saja. Di tengah keputusasaan kami, Pak David muncul (salah satu
warga kampung Mampau yang menolongku). Beliau mengarahkan kami untuk ke rumah Mantri
di desa itu. Tanpa basa basi, kami langsung meluncur ke rumah mantri tersebut.
Syukurlah, kami disambut dengan baik. Mula-mula Pak Mantri memegang kakiku
sembari melihat luka bekas patokan ular itu. Lalu beliau memeriksa tensi
darahku dan akhirnya memberikan tiga jenis obat yang dicampur jadi satu dalam
plastik obat yang kusam. Meski terlihat bahwa plastik obat itu bekas, namun aku
sudah senang bisa memperoleh obat di daerah terpencil ini. Itu tandanya aku
akan segera lepas dari rasa kesakitan ini. Setelah minum obat, aku sudah tak
sadarkan diri, bukan pingsan tapi mengantuk karena semalaman tidak tidur. Aku
tidur sambil duduk di ruang tamu, sungguh memalukan, hehe...apa boleh buat.
Ditengah ketidaksadaran, aku dituntun untuk menaiki bus yang menuju ke Ruteng
(kota Kabupaten). Panas sekali bus itu, kakiku tanpa alas kaki rasanya seperti
terbakar karena dibawahnya terdapat mesin yang meraung-raung. Ahh...sudahlah,
aku tidak peduli mataku hanya ingin terpejam sampai ke Ruteng. Hanya itu...
Selasa,
3 Januari 2012
Pagi
dingin, kurasa kakiku mati rasa. Pagi ini ada yang berbeda dengan kakiku.
Sepertinya rasa sakit itu sudah mengibarkan bendera putih kepadaku. Iya...aku
sudah tidak merasakannya lagi, maksudku tidak begitu sakit lagi. Hanya saja
kakiku membesar, mungkin bengkak. Tak apalah yang penting aku tidak kesakitan
lagi. Dengan bengkaknya kaki ini semua aktivitasku menjadi terbatas. Aku hanya
bisa duduk seharian, untuk dipakai berjalan saja sudah nyeri.
Pipop
hari ini juga kembali ke Satarmese Barat. Seharusnya tanggal ini ia sudah masuk
sekolah, tetapi apa boleh buat...ia harus mengantarku untuk sampai ke Ruteng
dan merelakan jam mengajar di SD Borik. Terima kasih kawan...hanya itu yang
bisa aku ucapkan untukmu.
* Sarjana Mendidik di daerah 3T 2011 (Kab. Manggarai)
0 komentar:
Posting Komentar