Rabu,
4 Januari 2012
Tanggal
4 seharusnya menjadi tanggal yang bersejarah bagiku, karena hari ini adalah
hari pertama aku masuk sekolah dan mengajar di pedalaman NTT. Sayang
sekali...aku hanya bisa duduk diam di rumah meratapi nasib.
Kamis,
5 Januari 2012
Periksa
ke RSUD. Aku bersama mbak Ina pergi ke Rumah Sakit Umum Daerah Ruteng yang
letaknya lumayan jauh dari kota. Dengan menggunakan jasa ojek akhirnya kami
sampai di RSUD. Bukan main hal yang pertama melintas dibenakku adalah bentuk
bangunannya yang agak sedikit berbeda dengan rumah sakit di Jawa. Sedikit lebih
kecil namun penuh dengan jibunan orang yang katanya sakit. Aku dan Mbak Ina
langsung menuju ke loket pendaftaran, hanya saja ada hal yang sedikit membuatku
bingung. Di sini tidak ada nomor antrian sehingga pasien harus menulis nama dan
alamat pada kertas yang disiapkan sendiri untuk diberikan kepada petugas di
loket pendaftaran.
Banyak pasien yang harus berjubel untuk memasukkan nama
mereka ke dalam loket. Tidak biasa hari ini kursi dalam ruang tunggu dipadati
oleh banyak guru, maka aku memberanikan diri untuk sekadar bertanya kepada
salah satu guru yang duduk disebelahku “Nekarabo
Bapak, ini kok banyak sekali guru disini. Ada apa ya?” tanyaku dengan
sedikit memaksakan logat Manggarai dalam ucapanku. “Iya Ibu, kami mau ikut diklat, tapi syaratnya harus punya surat
keterangan sehat dari RSUD, padahal kalau dulu tidak ada aturan macam begini”
jawabnya dengan nada sedikit keras. Ohh ternyata begini kasusnya, aku pikir
guru-guru ini sedang sakit sampai-sampai pasien yang benar-benar sakit tergusur
dengan rombongan guru ini, kasihan...kataku dalam hati.
Sebenarnaya
aku juga malas berurusan dengan administrtasi Rumah sakit yang kataku kurang
praktis. Mengapa tidak, setiap pasien harus menunggu lama di loket pendaftaran,
setelah itu harus menunggu lagi di poli yang dituju. Kalau fasilitas ruang
tunggu memadai tidak masalah, dalam kasus ini banyak pasien yang harus berdiri
di sepanjang koridor rumah sakit termasuk aku. Sungguh tidak layak! Ketika
namaku dipanggil oleh petugas kesehatan, lega rasanya karena sudah menunggu
selama berjam-jam. Aku lalu diarahkan menuju Poli Umum. Sesampai di sana aku
harus menunggu lagi. Lewat beberapa menit akhirnya kembali namaku dipanggil,
ternyata aku salah Poli, harusnya aku ke Poli bedah. “Salah alamat Ibu, harusnya Ibu ke Poli Bedah karena kakinya bengkak
jadi harus dibedah” kata dokternya. “Apa...?
dibedah dok? jadi saya harus ke Poli Bedah sekarang?” jawabku dengan
terkejut. “Tidak usah, nanti saya
panggilkan dokternya saja ke sini, Ibu tunggu sebentar ee...”. Tidak
beberapa lama muncul seorang dokter cantik memakai jilbab dan bertanya “Mana kakinya yang bengkak Ibu, coba saya
lihat!”. Aku pun langsung menyodorkan kakiku yang bengkak kepadanya.
Setelah dilihat ternyata beliau tidak bisa memastikan hewan yang menyebabkan
kakiku seperti itu. Tiba-tiba dokter cantik itu berkata “Ini harus dibedah, di dalamnya masih ada racun yang harus dikeluarkan”.
Aku sontak menjawab “Jangan dok, sudah
nggak sakit kok”. Dokter itu berpikir sejenak dan berkata “Oke sudah, saya kasih obat saja ya, ini saya
kasih resep silahkan ditebus di instalasi farmasi”. Mendengar hal itu aku
menjadi sangat lega. Aku memang sedikit phobia dengan pisau bedah dan jarum
suntik, untung saja aku selamat kali ini.
Selesai
sudah urusanku dengan rumah sakit. Kini aku dan Mbak Ina berencana ke toko
Buku. Ditengah perjalanan aku bertemu dengan Mas Misbah dan Mbak lili (Pendidik
asal Satarmese Barat), mereka sedang belanja untuk keperluan bulanan dan
berencana menginap di kontrakan. Aku mempersilahkan dengan senang hati dan
berpamitan untuk melanjutkan perjalananku ke toko buku.
Jumat,
6 Januari 2012
Pagi-pagi
aku melihat kakiku, apa masih bengkak atau sudah kempes, hehe seperti ban saja.
Alhamdulillah obat dari Rumah Sakit sudah bekerja, tidak sia-sia rupanya.
Bengkak di kakiku sudah sedikit mengecil, rasa sakit dan nyeri juga sudah
berkurang dan aku bisa berjalan dengan normal hanya harus masih hati-hati.
Tidak ada yang bisa kukerjakan hari ini kecuali bersih-bersih rumah dan memasak,
aku bosan dengan berbaring saja, aku bosan dengan duduk saja, dan inilah
aktivitas yang berhasil kukerjakan hari ini. Mas Misbah dan Mbak Lili juga
berpamitan pulang ke Satarmese Barat hari ini. Seperti biasa jika hari Jumat
kami sering kedatangan tamu dari kecamatan lain. Mereka pergi ke kota untuk
Jumatan dan singgah di kontrakanku. Namun hari ini tidak sebanyak biasanya,
hanya pendidik asal kec Cancar saja yang singgah.
Sabtu,
7 Januari 2012
Rasaku
seperti mati, ingin rasanya membuat perangkat pembelajaran atau sekadar menulis
tumpukan sampah hati yang menggunung. Sayang...sungguh sayang hati tidak
mendukung logika. Lumpuh sudah aktivitas hari ini...
Minggu,
8 Januari 2012
Renungan
sendu:
“Ketakutan
terdalam kita adalah buka karena kita tidak cakap. Ketakutan terdalam kita
adalah kekuatan kita dalam mengukur. Kita bertanya pada diri kita sendiri.
Siapa aku sehingga aku cerdas, hebat, berbakat, dan menakjubkan? Sebenarnya,
siapa sebenarnya dirimu? Kita dilahirkan untuk manifestasi. Kemuliaan Tuhan dalam
diri kita dan begitu kita biarkan cahaya kita menyala, kita tanpa sadar berikan
orang lain kesempatan untuk lakukan hal yang sama”.
JANGAN
TAKUT PADA DIRI SENDIRI jika ingin MAJU...Bismillah besok sekolah...
Hari ini selalu hujan sehingga aku
malas melakukan aktivitas apapun kecuali tidur. Ditengah kesepian yang tak
kunjung hilang, tiba-tiba Hpku berdering, aku langsung melihat nama yang muncul
pada layar Hp. Ternyata Pipop pendidik bangsa asal Borik. Otakku tiba-tiba
berpikir, bagaimana mungkin dia bisa menelpon kalau kondisinya tidak ada
signal. Tanpa berlarut-larut aku langsung menjawab panggilan itu. Senang
rasanya bisa berbagi dengan rekan seperjuangan yang mendapatkan penempatan jauh
dari kota kabupaten bernama desa Borik. Dia bercerita suka dan duka perjuangannya terutama pada saat mencari
signal dia harus berjalan sejauh 4 km dengan medan yang cukup berat baru bisa
mendapatkan signal, itu pun kadang timbul tenggelam. Luar biasa, masing-masing
daerah penempatan para pendidik bangsa mempunyai cerita masing-masing
untuk dibagikan. Selama 3 jam aku
berkomunikasi melalui pesawat telepon dengannya. Sedikit banyak aku bisa
membayangkan bagaimana kondisi di sana dan mendapatkan pengalaman baru dari
pendidik bangsa yang satu ini.
Senin,
9 Januari 2012
Bangun
tidur, wajahku serasa lebam-lebam entah mimpi apa aku semalam. Badan sakit,
daguku seperti memar karena berbentur benda keras. Sungguh tidak nyenyak sekali
tidurku malam tadi. Aku langsung beranjak mandi karena ini hari pertamaku
mengajar di sekolah pasca tragedi Mampau tempo hari. Air dingin menusuk tulang,
aku tidak sempat mengelak karena memang pagi ini aku harus mandi. Aku sangat
bersyukur karena hari ini aku sudah tidak menggunakan jasa ojek untuk pergi
sekolah. Motor Aran sudah tiba di Ruteng dan aku bisa menumpang sampai motorku
datang. Jarak sekolah Aran dan sekolahku lumayan jauh, dia harus menempuh jarak
9 km untuk mengantarku dan harus kembali ke sekolahnya dengan jalur memutar
karena tidak ada jalan yang menyatukan dua bukit sekolah kami. He... lagi-lagi
aku harus merepotkan orang, tapi demi mengirit uang Rp 20.000,00 per hari aku
harus berani mengambil langkah itu.
Hari
ini kembali hujan, kata orang Manggarai ini musim Dureng, yakni musim hujan
terus menerus yang terjadi antara bulan Januari sampai April. Rasanya malas
sekali untuk memulai aktivitas mengajar hari ini karena kondisi sekolah yang
diluar dugaan. Jalan sekolah menjadi sangat sulit untuk dilalui dengan adanya
hujan. Aku harus mencari pinjaman payung untuk bisa sampai ke kelas yang
letaknya paling jauh dari kantor guru, jalannya dipenuhi dengan lumpur dan
dihiasi dengan rumput setinggi lutut sehingga banyak rumput-rumput yang
menempel pada celanaku. Kabut juga ikut berperan menambah suasana dingin
mencekam. Setiba di depan kelas, aku dibuat kaget oleh ulah siswa yang memukul
meja serentak berdiri dan mengucapkan “Selamat
pagi Bu...!”, hampir saja aku limbung di buatnya. Tak disangka dan tak
diduga, aku mendapatkan sambutan yang luar biasa menurutku. Aku tidak bisa
berkata apa-apa melihat mata yang binar yang menatapku, memperhatikan setiap
gerak-gerik dan ekspresiku. Terpana dan malu aku dibuatnya, namun aku bangga
melihat semangat yang terpancar dari mata mereka. Aku pun menyudahi situasi
yang aneh itu dengan berkata “Terima
kasih, kalian boleh duduk”.
Selama
enam jam aku mulai menyelami karakter anak-anak didikku. Dengan bertanya,
menyapa, memanggil, memandang, dan begitu pun sebaliknya. Mereka tampak begitu
senang dengan kehadiranku, berbeda sekali dengan di jawa, mereka begitu sangat
memperhatikan dan mendengarkan ucapanku disertai tawa ringan dari mereka. Luar
biasa aku dipertemukan dengan karakter siswa yang sedemikian berbeda dari
biasanya, sebagaian dari mereka masih pemalu dan aku masih mengalamai kesulitan
ketika berkomunikasi dengan mereka karena terbentur dialek kebahasaan. Sangat
wajar menurutku, mereka sudah memberikan respon saja, aku sudah senang. Jam
sudah menunjukkan pukul 13.15 WITA dan aku harus mengakhiri peranku sebagai
guru di SMK ini, temanku Aran sudah menjemput.
Selasa,
10 Januari 2012
Berbeda
dengan hari-hari kemarin, hari ini sungguh cerah, secerah hatiku. Pagi ini aku
bangun dengan selangit asa yang membuncah, entah mengapa rasaku sungguh berbeda
pagi ini yang jelas ini merupakan anugerah terindah yang kumiliki, bisa bagun
dengan rasa yang luar biasa ini. Matahari sudah merangkak naik disertai semilir
angin pagi yang sangat dingin. Cahaya matahari pagi tak mampu menembus dingin.
Kulit tetap saja beku. Seperti biasa aku mulai memerankan peranku kembali.
Bersama Aran, aku mulai membelah kabut menuju lembah bukit dimana sekolahku
berada.
0 komentar:
Posting Komentar