Kamis,
15 Desember 2011
Kabut
masih berkuasa pada pukul 04.00 WITA. Tubuh serasa kelu, masih membekas
jejak-jejak keletihan malam tadi. Lagi-lagi sugesti bermain diotakku (Ayo San, meski dingin kau harus tetap bangun
dan menunaikan salat subuh). Jika sugesti sudah berlaku demikiaan, maka
tidak ada yang mesti dilakukan kecuali mengikutinya.
Hari
ini bangun pagi pertamaku di pulau Flores dengan kondisi fisik yang cukup bugar
didukung dengan udara yang segar. Aku pun memberanikan diri untuk keluar,
melihat suasana sekitar yang tadi malam tidak sempat terekam karena matahari
sudah keperaduan. Berjalan berkeliling Santa Clause, melihat bukit yang berdiri
dengan kokohnya mengitari perkampungan sebelah timur bangunan Santa Clause.
Sejuk dihati...sejuk dimata...sejuk dalam rasaku.
Aktivitas
merangkak naik menunjukkan bahwa ia penting dalam kehidupan. Para pendidik
mulai menyantap hidangan yang telah disediakan. Tak pelak setelah itu kami
mulai memikirkan apa langkah selanjutnya setelah ini, apa yang akan pendidik
lakukan pertama kali setelah menginjakkan kaki di bumi flores ini. Bertanya,
berkenal, berdiskusi dengan pendidik
lain, yang notabene berasal dari daerah berbeda. Sungguh syahdu...
Menjelang
tengah hari sebagian pendidik berinisiatif ke kota, semata-mata untuk melihat
kondisi kota yang sebenarnya. Senang rasanya pergi pesiar bersama. Membeli ini,
itu dengan perbandingan harga yang lumayan. Tempat pertama yang kami kunjungi
adalah masjid di daerah kota. Subhanallah...meski belum lama meninggalkan
masjid di pulau jawa, tetapi melihat masjid di pulau flores merupakan anugerah
terindah yang pernah kunikmati. Tiba di depan gerbang masjid, kami disambut
oleh lelaki setengah baya yang merupakan takmir masjid itu. Tidak
disangka-sangka takmir tersebut berasal dari suku jawa yang juga merupakan
pendatang seperti kami. Kembali hati kami mencelos mendapatkan fakta bahwa suku
jawa masih banyak berkeliaran di daratan flores khususnya di kota ini.
Setelah pertanyaan tentang bagaimana
kondisi kota terjawab, kami memutuskan untuk kembali ke desa Cancar kompleks
Santa Clause dimana kami penginap. Rasa lelah menggelayuti namun hati tetap
senang. Tak terasa kabut mulai turun menutupi sebagian perbukitan yang menjadi
latar belakang gedung Santa Clause. Lembab.
Jumat,
16 Desember 2011
Pukul
03.00 WITA aku sudah berbegas bangun pagi untuk merapikan barang-barang karena
pukul 09.00 pagi nanti, aku bersama pendidik bangsa lainnya harus sudah berada
di Dinas PPO (Pendidikan Pemuda dan Olahraga) kabupaten Manggarai untuk
mengikuti ritual penerimaan pendidik bangsa.
Perjalanan menuju PPO dari Santa Clause kurang lebih 45 menit
menggunakan angkutan umum. Sebanyak 16 armada mengangkut pendidik bangsa
dilengkapi dengan koper-koper besar sebagai atributnya. Perjalanan ini
merupakan perjalanan keduaku ke Ruteng (ibu kota Manggarai) jadi aku tidak lagi
merasa asing seperti yang dialami oleh pendidik bangsa lain.
Tak
lebih dari satu jam aku tiba di PPO. Disana aku mengelurakan barang-barang dari
atas bemo (angkutan kota) lalu meletakkannya di tempat yang aman. Baru setelah
itu aku memasuki aula PPO, tetapi sebelum itu aku disuguhi oleh beberapa carik
kertas yang ditempel di papan pengumuman yang berisi sekolah mana yang nantinya
akan maju bersamaku. Dengan penuh sesak aku mencoba menerobos kerumunan orang,
ingin sama-sama mengetahui bagaimana nasibku nanti. Mencari nama SANDRA NOVITA
SARI diantara nama-nama yang lain agak sulit, sampai akhirnya ada yang berkata “San kamu dapat di SMK N 1 Wae Ri’i”
Sontak aku menengok padanya “Mana?”
jawabku penasaran. Temanku menunjukkan jarinya ke namaku. Ya...aku mendapat
sekolah SMK. Sekolah yang belum pernah aku sentuh. Berbagai macam reaksi muncul
dari pendidik bangsa, ada yang diam saja, ada yang menangis terharu karena
mendapatkan sekolah di pinggir kota, ada yang menangis karena mendapat sekolah
di pedalaman, ada yang menangis karena berpisah dari teman karibnya, ada yang
tersenyum riang, dan ada yang datar saja alias tanpa ekspresi. Semua dikemas
dalam suasana haru.
Pukul
09.00 WITA, upacara penyambutan pendidik bangsa dimulai. Kurang lebih 2 jam
prosesi berlangsung dengan dibubuhi satu
tradisi unik yakni pemberian sarung adat kepada pimpinan UNNES sebagai simbol
penerimaan 91 orang pendidik bangsa di kabupaten Manggarai yang tersebar di 8
kecamatan diantaranya kecamatan Ruteng Rentung, Lelak, Satarmese, Satarmese
Barat, Wae Ri’i, Cibal, Reok dan Rahong utara. Usai prosesi penerimaan,
masing-masing pendidik bangsa berhambur menuju kepala sekolah masing-masing.
Hanya satu kecamatan yang tidak dijemput oleh kepala sekolah yaitu kecamatan
Wae Ri’i. Kecamatanku. Ditengah hiruk pikuk yang terjadi di aula PPO tiba-tiba
seorang staf kurikulum PPO mendekati kami (aku, Rinno, Mansur, dan Aran) kawan
satu kecamatanku. “Sudah datangkah
kepseknya?” katanya. “Belum Bapak”jawabku. “Oh...tunggu
dulu sebentar e” katanya meredamkan kegalauan kami. Baru
sadar juga kalau hari ini jumat. Banyak pendidik bangsa yang tidak salat jumat
karena sudah dijemput kepala sekolah yang berasal dari daerah pelosok. Mereka
seperti mengejar waktu, karena siang sedikit oto menuju desa mereka sudah tidak
ada. Maklum juga di sini mayoritas katolik, jadi tidak ada salat jumat. Satu
persatu pendidik bangsa berangkat menuju desa pengabdiannya, hingga pada
akhirnya hanya kecamatanku saja yang masih ada di PPO. Tidak disangka juga
masih ada seorang pendidik bangsa yang tertinggal oleh rekan satu kecamtannya.
Tak pelak aku langsung mengajaknya untuk bergabung dengan kecamatanku sembari
menunggu teman-teman satu kecamatanku yang sedang mengikuti ritual satu
mingguan yakni jumatan.“Pak Sony memang baik hati” kataku dalam
hati. Tak bisa membayangkan jika nasibku seperti Mbak Satarmese (begitu kami
menyebutnya) karena ia mendapatkan daerah pelosok bernama Satarmese. Akhirnya
kami bermalam di rumah staf kurikulum itu. Di sana aku mendapatkan keluarga
baru bernama Nana Nober*, kakak Oci, kakak Evi, kakak Elsi, dan mama Natalia.
Mereka sungguh ramah, padahal baru bertemu dan sudah dianggap keluarga. Kami
berbincang-bincang, saling mempelajari bahasa dari daerah masing-masing. Unik,
aneh, lucu...itu komentarku begitu mendengar bahasa mereka, begitupun mereka.
Senang...
Sabtu,
17 Desember 2011
Pagi-pagi
sekali kami sudah diburu waktu menuju dinas PPO karena Mbak Satarmese akan
segera menuju ke Satarmese. Tanpa basa-basi lagi kami langsung berpamitan kepada
keluarga Pak Sony. Pagi itu menjadi pagi yang menyedihkan. Mengapa demikian?
Karena baru saja kami mendapatkan keluarga yang baik, baru saja mengecap
indahnya komunikasi antar ras dan suku sudah berpisah lagi. Sembari kami
mengantarkan Mbak Satarmese, kami juga akan menuju rumah saudara Pak Sony yang
akan kami tinggali di daerah Kumba.
Setibanya
di rumah itu, kami langsung membawa masuk koper-koper berat kami yang
menyusahkan. Rumah itu cukup besar untuk ditinggali 4 orang. Ada ruang tamu,
ruang keluarga, 3 kamar tidur, dapur, dua kamar mandi. Sangat luas menurut
kami, kalau boleh mengandaikan rumah ini bisa digunakan untuk bermain bola.
Hanya saja perabotannya kurang, sehingga kami harus membeli beberapa barang
lagi untuk memenuhi sudut rumah. Ditengah perjalanan menuju pasar, kami
menyempatkan diri untuk singgah di Hotel Manggarai karena ada sebagian pendidik
bangsa yang masih terdampar di sana. Mereka bertugas di kecamatan
Ruteng-Rentung. Sebuah kecamatan yang tidak jauh dari kota. Senang sekali bertemu dengan teman
seperjuangan, tak pelak kamipun bercerita tentang nasib masing-masing. Sekarang
tinggal dimana, airnya bagaimana, listrik ada atau tidak. Ternyata nasib kami
tidak jauh berbeda. Masing-masing masih ditelantarkan oleh kepala sekolah. Akhirnya
aku mengajak mereka untuk tinggal bersamaku di daerah Kumba. Tetapi sebelum itu
kami pergi pesiar ke pasar Ruteng. Ramai sekali, dua kecamatan berkumpul jadi
satu menambah semarak belanja pada waktu itu.
Minggu,
18 Desember
Kontrakanku
akhirnya dipadati oleh pendidik bangsa. Kebetulan hari ini pendidik bangsa dari
kecamatan Ruteng Rentung ingin survei melihat kondisi sekolah yang nantinya
akan menjadi tempat juang mereka. Aku bersama teman-teman sekecamatanku juga
berencana demikian. Akhirnya satu bemo (angkutan umum) kami carter bersama
teman sekecamatan Ruteng. Agenda pertama
kami mengunjungi SMP Negeri 1 Ruteng. Kondisinya lumayan, berada di dataran
rendah dikelilingi persawahan. Kami hanya bisa bertemu dengan penjaga
sekolahnya bernama Pak Domi. Beliau sangat ramah dan menyambut kami begitu
baik. Empat orang pendidik bangsa langsung bertanya mengenai sekolah dan tempat
tinggal mereka nantinya. Setelah puas melihat-lihat dan bertanya, kami pun
melanjutkan perjalanan menuju SMP N 8 Ruteng. Kondisinya lebih parah
dibandingkan SMP N 1. Sekolah ini merupakan sekolah Satap. Satu gedung sekolah
digunakan untuk SD Katolik dan SMP. Kondisinya masih dalam perbaikan. Tujuan
kami yang terakhir sebenarnya menuju kecamatan Wae Ri’i, namun ketika
perjalanan menuju SMP N 8 Ruteng kondisi hujan sehingga banyak memakan waktu
dan nampaknya para pendidik bangsa sudah mulai kelelahan sehingga kami
memutuskan tujuan terakhir adalah SMP N 7 Ruteng. SMP ini adalah SMP yang
paling jauh letaknya dibandingkan dengan SMP yang kami kunjungi hari ini.
Letaknya sedikit lebih tinggi, dengan
kondisi bangunan yang baik. Beruntung sekali pendidik muda yang ditempatkan di
sana, wajar memang karena ia satu-satunya guru perempuan yang berjuang di sana,
Bu Ina namanya.
Senin,
19 Desember 2011
Rencana
hari ini, menyambung hari kemarin yaitu menuju Kecamatan Wae Ri’i. Pada awalnya
teman-teman yang berjuang di kecamatan Ruteng akan mengantarkanku melihat
kondisi sekolah, tetapi sayangnya mereka harus mencari kontrakan di kecamatan
mereka sendiri, akhirnya kami berpisah. Aku bersama ketiga temanku Aran,
Mansur, dan Rinno akan menuju kecamatan Wae Ri’i hari ini. Tetapi tiba-tiba
salah satu pendidik bangsa dari kecamatan Cibal menghubungiku “Ada teman yang di Ruteng nggak? Aku butuh
bantuan!” katanya lewat pesan singkat. Aku tidak membalasnya, melainkan
langsung menekan Call untuk menghubunginya.
Afrian
namanya. Kasihan ternyata dia tidak membawa dompet ketika berbelanja ke Ruteng.
Pendidik asal kecamatan Cibal ini mengikuti kepala sekolahnya ke kota dengan
menempuh perjalanan kurang lebih 2 jam. Namun sayang, dia tidak membawa dompet,
makanya dia mencari bantuan. Aku langsung menuju pasar menemui Frian, kami
menuju ATM BNI untuk mengambil uang dan aku membantunya untuk belanja karena
tidak mungkin ia berbelanja sendirian. Usai berbelanja, ia mengajakku makan
bakso. “Alhamdulillah, ini makanan
terenak yang aku makan selama aku di Cibal” aku pun terharu mendengarnya.
Ternyata nasibku jauh lebih baik darinya. Usai makan, ia berpamitan karena
sudah ditunggu oleh kepala sekolahnya “ Makasih
San, aku tidak bisa membayangkan kalau tidak ada kamu” katanya. Aku
terharu, senang rasanya membantu teman.
Perjalanan
menuju Wae Rii dimulai. Aku bersama tiga pendidik lain menyewa bemo untuk
mengantar kami kesana. Namun sayang ketika berangkat, kami nyasar, supir bemo
yang mengantar kami ternyata juga tidak mengetahui persis dimana kecamatan Wae
Rii itu berada. Sungguh malang Rp 5000 melayang. Kami lalu mencari bemo yang
lain, setelah bernego masalah harga, ditemukanlah harga kesepakatan yakni Rp
10.000 per orang pulang pergi. Hemmm...bayangan kami tentang kecamatan Wae Rii
masih melayang dan semakin menjadi-jadi. Ditengah perjalanan kami melihat kanan
kiri...”Wah ternyata sama saja dengan
kecamatan yang lain, Gunung, lembah, dan bukit” kataku tak berdaya. Teman
yang lain hanya tersenyum simpul, entah senang, atau bahkan mengeluh dalam
hati, entahlah lelaki kebanyakan hanya diam dan jarang menunjukkan perasaan
mereka yang sebanarnya. Tiba di sana aku bertanya kepada dua anak laki-laki
yang masih memakai seragam sekolah. “Ini
SMK N 1 Wae Rii ya?”. Mereka menjawab “
iya”, sembari berjalan. “Terima kasih
nana (sebutan untuk anak laki-laki di Manggarai)”. “Ome toe molas ibu gurunya, hami toe wale rei na”, jawab mereka. Aku
tidak paham dengan kata-kata mereka, lalu salah satu temanku yang berasal dari
Manggari Barat bernama Mansur menerjemahkan kalimat itu yang artinya “Kalau tidak cantik ibu gurunya, tidak saya
jawab pertanyaannya” Hemm sontak aku tersenyum dan bergumam sendiri
mendengarnya.
Sekolah
dimana aku mengajar bernama SMK N 1 Wae Rii. Sebuah SMK yang berada di atas
bukit, dikelilingi lembah, dan dilatarbelakangi anak gunung Ranaka yang
berstatus aktif. Beberapa bulan yang lalu, anakan Gunung Ranaka sempat di kabarkan
akan meletus. Aku tidak bisa membayangkan sekolahku berada di jalur lahar.
Listrik belum masuk, sehingga jika guru ingin melakukan KBM yang berkaitan
dengan listrik harus menghidupkan Jenset terlebih dahulu, dan itupun tidak
selalu bisa digunakan karena kondisi jensetnya sudah mengenaskan. Air untuk
Praktik juga tidak ada, sehingga para guru sengaja membeli air dari kota.
Sungguh tragis nasib sekolah ini. Itulah alasan mengapa aku dan teman-temanku
tetap bertahan dikota meski jarak yang ditempuh tidak dekat dan biaya yang
dikeluarkan tidak sedikit untuk satu kali membayar bemo.
Selasa,
20 Desember 2011
Mano...Manggarai
Timur. Hari ini aku mencapainya selama 45 menit. Aku pergi mengunjungi saudara
temanku Mansur yang sudah lama tidak ia kunjungi. Ketika berangkat Bang Mansur
berkata “Mano itu dekat kok, paling Cuma
15 menit” aku dan Mbak Ning hanya percaya saja karena kami tidak mempunyai
gambaran apapun tentang desa yang bernama Mano itu. Tak berapa lama bemo
meluncur membelah jalan yang berkelok, seperti biasa pemandangan yang muncul di
kanan kiri adalah gunung dan jurang. Memang kontur daerah Manggarai kebanyakan
pegunungan, bukit, gunung, lembah, dan jurang. Pada titik-titik tertentu kami
sering menemui longsor yang menutupi ruas jalan. Aku pun tidak bisa diam
melihat hal itu, kamera yang tadinya bersembunyi di tas aku keluarkan dan
langsung kugunakan untuk merekan kejadian yang menurutku unik dan jarang
terjadi.
“Wah Bang Mansur
bohong...katanya Cuma 15 menit, ternyata 45 menit. Mana udah masuk Manggarai
Timur lagi. Dekat apanya?” celotehku ketika tiba di Mano.
Hahaha...aku tertipu lagi. “Sudahlah yang
penting sudah sampai” kata Mbak Ning, meredam. Sambutan hangat kembali aku
dapatkan dari keluarga muslim asal Manggarai Barat ini. Setiap bertamu pasti
disuguhi makan, memang tradisi orang Manggarai seperti ini. Setelah lama
bercakap, kami undur diri pulang menuju Ruteng.
Rabu,
21 Desember 2011
Tidur...tidak
banyak aktivitas yang dilakukan hari ini. Sepanjang hari selalu tidur dan
tidur. Hari ini terasa begitu panas, dan malas selalu menggelayuti bagai beban
yang beratnya mencapai 100 ton dipundak.
Kamis,
22 Desember 2011
Pagi-pagi
sekali kami sudah mengantri kamar mandi. Aku, Mansur, dan Rinno akan pergi ke
sekolah untuk pertama kali setelah survei kemarin. Tiba-tiba ada sms masuk yang
berbunyi “Nanti pake jaket SM-3T ya, biar
kompak”. Sms tersebut berasal dari pendidik bangsa yang berasal dari
Universitas Negeri Malang. Pendidik bangsa yang mengabdi di SMK N1 Wae Rii
berjumlah 8 orang. 3 Orang dari Universitas Negeri Semarang dan 5 orang berasal
dari Universitas Negeri Malang. Selama 8 bulan kami akan menjadi satu keluarga
bersatu memajukan SMK N 1 Wae Rii.
Pagi
hari bemo tidak kunjung ada, kami terpaksa menggunakan jasa ojek untuk menempuh
jalan ular yang tiada berujung. Aku merogoh kocek sebesar Rp 10.000,00 untuk
bisa sampai ke sekolah. Tiba di sekolah kami disambut oleh siswa-siswi SMK yang
sebentar lagi akan menerima rapot akhir semester. “Selamat pagi Bu, selamat pagi Pak!” Sapa mereka dengan senyum
ramah. Aku pun membalasnya dengan “Pagi”,
senyum ramah tersembul dari bibirku terlihat agak aneh dan sedikit dipaksakan.
Suasana masih sepi, Bapak dan Ibu guru lain belum terlihat batang hidungnya.
Hanya kami guru SM-3T yang sudah bersiap untuk disambut dengan berdiri karena
ruang guru masih ditata oleh penjaga sekolah. Lama kami menunggu akhirnya acara
Lepas-Sambut dimulai juga. Kepala Sekolah sengaja membuat acara ini karena
disamping menyambut kami, guru-guru baru, ternyata sekolah juga akan melepas
seorang guru untuk ke Jakarta. Satu per satu guru baru mulai memperkenalkan
diri dengan gaya masing-masing dan cukup kocak. Suasana menjadi semakin hangat
dengan kata-kata perpisahan dari ibu guru yang mau pindah. Acara diakhiri
dengan makan bersama, sayang sekali aku dan Mansur tidak bisa menikmati
hidangan yang tersedia karena sedang menjalankan puasa sunnah senin-kamis.
Usai
sudah acara penyambutan guru muda. Kami langsung berkonsultasi dengan guru-guru
pamong mengenai perangkat pembelajaran yang akan digunakan selama kurang lebih
8 bulan kedepan. Untuk mencapai
kontarakan kami harus jalan 12 km, sembari menunggu bemo. Bersama teman-teman
dari Universitas Negeri Malang, kami membelah jalan ular pada siang terik.
Ditengah keputusasaan tidak mendapat bemo, tiba-tiba dari arah belakang kami
meluncurlah sebuah bemo yang akhirnya menyelamatkan kami.
Pukul
18.30 WITA
“Selamat
berbuka puasa”, kata teman-temanku. Senang sekali bisa menaklukan hari ini dengan
puasa. Aku bersama Mbak Ina dan Mbak Ning
berbuka puasa bersama di warung belakang masjid. Sengaja kami pergi ke
kota untuk mencari hidangan yang sedikit pantas untuk disantap saat berbuka.
Sebelum itu, kami membeli makanan ringan untuk persediaan di rumah kontrakan.
Disaat adzan magrib berkumandang, saat itu pula Ruteng dilanda angin ribut.
Suasana hiruk pikuk di pasar, kini terlihat di kota. Satu persatu pohon mulai
tumbang, atap seng beterbangan dan banyak tiang listrik yang rubuh. Pada saat
yang bersamaan listrik padam, menambah suasana mencekam. Angin sepertinya ingin
melahap setiap manusia yang dilaluinya. Usai menyatap hidangan buka puasa, kami
cepat-cepat beranjak dari tempat itu untuk menuju rumah dan mencari bemo. Malam
gelap dan dingin disertai angin yang terus menderu, kami berjalan dalam keadaan
gelap gulita sambil mata melirik ke semua arah kalau-kalau ada kayu terbang
yang mampir ke kepala. Perasaan takut terus mampir kebilik hatiku, kedua
temanku terus saja mengeluh takut, takut, dan takut. Tapi aku mencoba
meredamnya dengan berkata “sudah nggak
apa-apa, cepat jalan saja”.
Setelah
berjalan dengan payah dan berusaha mengalahkan rasa takut, kami melihat bemo
dan langsung membawa kami ke rumah. Tiba depan di rumah, kami berlari membabi
buta ditengah kegelapan total. Hanya satu yang kami inginkan yakni
perlindungan. Tetapi tangan kami sudah berkali-kali mengetuk daun pintu dan
hasilnya nihil, tidak ada jawaban. Sontak ketika itu kami menyerah dan langsung
tersungkur di depan pintu. Ingin rasanya menumpahkan tangisan, namun hatiku
tersedak hingga tak ada setetes air pun yang keluar. Ditengah kekalutan yang
melanda, tiba-tiba daun pintu bergerak dan pintu terbuka disertai tawa penuh
teman-temanku. Sial...mereka sengaja mempermainkan kami, jengkel...!
Jumat,
23 Desember 2011
Jumat
sendu, kataku. Mengapa demikian? Karena aku menerima beberapa SMS dari teman
dekatku yakni Cik Gu (Pendidik asal kecamatan Reok) dan Pipop (Pendidik asal
kecamatan Satarmese Barat). Mereka mengirim kabar bahwa hari ini akan menuju
kota. Senang sekali rasanya hati ini mendengar hal itu, karena kurang lebih dua
minggu tidak bersua. Setelah menunggu dan menunggu aku mendapat SMS dari Cik Gu
yang berbunyi “San Sorry, aku nggak jadi
ke Ruteng hari ini, mungkin minggu besok” melihat SMS yang berbunyi
demikian hatiku mencelos tiba-tiba. Rasa jengkel menyeruak, ingin rasanya
berteriak. Hemm...padahal aku sudah senang sekali. Selang waktu berlalu,
ditengah kekecewaan yang masih melanda hati aku mendapat SMS dari Pipop “ Aku dilema nih, Aku kesini sama
teman-temanku dan diajak nginep di rumah kepala sekolahnya”. Dongkol hati
tak terbendung lagi, lalu kubalas SMSnya “Terserahlah”.
Hatiku sekarang sedang sulit diajak damai. Biar...
Aku
masih menulis hingga pukul 13.00 WITA, kejengkelanku akhirnya terkubur dengan
aktivitas itu. Jumatan sudah selesai, aku memutuskan untuk salat dhuhur tetapi
tidak ada air di rumah, aku lalu memutuskan untuk ke masjid. “Di Masjid juga tidak ada air” kata Bang Mansur yang saat itu baru pulang
Jumatan. Mbak Ning mengajakku untuk wudlu dan salat di rumah penduduk sekitar.
Ketika akan berangkat tiba-tiba di depan rumah banyak sekali rombongan Pendidik
Bangsa yang berencana main ke kontrakan usai salat jumat, salah satunya ada
wajah yang tidak asing yakni Pipop. (Hemm sial...tenyata temanku ini memberi
kejutan) kataku dalam hati. Aku langsung menyambut mereka dan mempersilahkan
masuk sembari aku pamit untuk salat dhuhur.
Usai
salat, aku langsung izin ke Mbak Ning dan Mbak Ina untuk tidak ikut belanja
karena ingin menemui temanku Pipop yang sudah menunggu di rumah. Jauh-jauh dari
desa Borik Satarmese barat, tidak sopan rasanya untuk menyepelekannya karena
jarak yang ditempuh tidak dekat. Setibanya di rumah aku langsung berbincang
dengannya, rasanya seperti lama tidak bertemu, padahal baru dua minggu kami di
lepas ke sekolah pengabdian masing-masing. Mungkin karena pengaruh jarak yang
jauh, serta akses kendaraan yang terbatas menjadikan kami seperti itu.
Sudahlah, yang jelas hari ini aku harus menjadi tuan rumah yang baik, melayani
teman-teman Pendidik Bangsa yang singgah di rumah.
Sabtu,
24 Desember 2011
Pagi
hari ketika jam sudah menunjukkan jam kerja aku bergegas untuk menuju Ke dinas
PPO untuk meminjam aula yang nantinya akan dipergunakan pada acara Rapat
koordinasi perdana SM-3T UNNES. Sebelum pergi kami sempat berpesan kepada Aran
dan Bang Rinno untuk memasak nasi. “Pokoknya
kami pulang harus sudah ada nasi di meja, gimana caranya anak laki-laki harus
memasak” kata Mbak Ina dengan gaya judesnya. Aran dan Bang Rinno hanya
tersenyum kecut mendengarnya.
Aku
pergi ditemani oleh Mbak Ina dan Mbak Ning, berjalan dari Kumba (daerah dimana
kontrakan kami berada) sampai ke Dinas PPO. Awalnya kami tidak tahu harus
menemui siapa, maklumlah orang baru biasanya harus beradaptasi terlebih dulu
untuk mengetahui birokrasi di tempat yang baru. Akhirnya setelah lama celingukan* kanan kiri, kami dihampiri
oleh salah satu staf bagian kepegawaian bernama Pak Hendrik. “Ada perlu apa Ibu?” begitu sapanya. “Kami ingin meminjam aula untuk rapat
koordinasi perdana SM-3T UNNES Pak” jawabku spontan. “Oh silahkan saja menemui Pak Ande dibagian staf umum” lanjutnya.
Setelah mengucapkan terima kasih, aku pun langsung menuju ruang staf umum dan
bertemu dengan Pak Ande sembari menjelaskan maksud kedatanganku ke sana. Dari
pihak PPO menuntut adanya surat peminjaman tempat, sedangkan aku tidak membawa
surat apapun karena struktur saja belum terbentuk dan kami juga belum mempunyai
stempel. Maka aku menjelaskan agar Pak Ande memahami situasi yang ada sekarang.
Akhirnya setelah bernegosiasi aula berhasil dipinjam dalam satu hari dengan
syarat kami yang membersihkan sendiri. Tidak masalah bagi kami asal tempat
sudah ditangan. Setelah itu kami pun berpamitan kepada staf-staf PPO dan
langsung menuju toko Buku Airlangga.
Entah
alasan apa yang tepat kami lontarkan. Apakah ingin jalan-jalan saja, ataukah
hanya ingin mengirit uang Rp 2000,00 sehingga kembali kami berjalan kaki dari
dinas PPO menuju komplek pertokoan. Haha...mungkin alasan yang kedua yang lebih
tepat kami jadikan dalih untuk berkelit. Maklumlah, setiap hari kami sudah sangat
sering naik bemo, mungkin untuk saat ini rehat dulu, setidaknya bisa menikmati
suasana kota Ruteng di pagi hari. Sambil bercanda sepanjang perjalanan tak
terasa kami tiba di depan toko buku, hanya saja nasib kami kurang baik. Toko
bukunya tutup dan kami harus pulang dengan tangan kosong.
Setibanya
di rumah kami kedatangan tamu dari Lelak dan Satarmese Barat, ramai sekali.
Ternyata teman pendidik bangsa dari Lelak hanya singgah saja, mereka sudah
mempunyai tempat tinggal sementara yakni di daerah Kodim. Pendidik bangsa asal
Satarmese Barat tak lain adalah Pipop temanku yang kembali lagi untuk berlibur.
Waktu habis dengan perbincangan tiada ujung antar pendidik bangsa satu dengan
yang lain. Masing-masing bercerita tentang perjuangan di daerah asal. Haru dan
membakar semangat.
Minggu,
25 Desember 2011
Hari
ini hari Natal...suasana berbeda namun khas terlihat di seantero Kota Ruteng.
Mungkin tidak hanya di Kota Ruteng saja melainkan hampir seluruh daratan Flores
terlihat semarak natal. Aku melihat disetiap rumah terdapat spanduk yang
bertuliskan “Marry Christmas and Happy
New Year” lengkap dengan lampu warna-warni yang dihias sedemikian rupa. Di
depan rumah juga terdapat replika gubuk tempat Yesus dilahirkan. Pohon natal
juga tersebar di halaman rumah sampai pinggiran jalan. Setiap 200 m terdapat
gubuk-gubuk khas natal yang dilengkapi dengan lampu dan sound system. Wah sungguh luar biasa kota Ruteng ini, kembang api
pun mengambil bagian dalam perayaan natal. Sungguh diluar dugaan, berbeda
sekali dengan di Jawa. Gereja-gereja dan Katedral selalu membunyikan lonceng
raksasanya untuk memanggil jemaatnya. Aku hanya tertegun saja melihatnya.
Dalam
waktu sehari ini, yang kami lakukan hanya di dalam rumah sembari memasak apa
yang bisa di makan karena sebagian besar umat Katolik sedang melakukan ritual
natal di gereja. Suasana kota menjadi hening seketika. Toko-toko dan pasar
tutup, bemo yang biasa sering melintas, hari ini pun tidak ada. Mungkin dalam
satu hari ini dan besok tidak ada bemo, tetapi tidak lama kemudian suasana
menjadi riuh karena banyak pemuda yang memadati gubuk di depan rumah, mungkin
ritual gereja telah usai hingga disambung dengan minum dan triping. Hehe...semacam
budaya mungkin, sudahlah kami hanya bisa melihat saja.
Senin,
26 Desember 2011
Puasa
sunnah hari Senin. Ya inilah ritual rutin yang sering aku jalankan dengan beberapa
alasan. Disamping menjalankan sunnah rasul, aku juga sering menggabungkan niat
dengan puasa ramadhan, lumayan satu kali mendayung dua tiga pulau terlampaui.
Tidak dipungkiri dengan puasa sunnah aku bisa sedikit mengirit biaya makan,
hehe... Aku lalu menawarkan kepada pendidik bangsa yang lain untuk berpuasa,
dan ternyata tawaranku disambut dengan baik. Akhirnya kami sepakat berpuasa,
kecuali Bang Rinno. Alarm fajar sudah berbunyi, tetapi aku terus saja masyuk
asyik ke dalam mimpi yang membuai hingga jam sudah menunjukkan pukul 04.00
WITA. Setengah jam lagi subuh, tidak mungkin dalam waktu setengah jam aku bisa
membuat hidangan sahur dengan porsi besar. Akhirnya aku hanya minum air, dan
teman-teman tetap pada mimpinya.
Waktu
berjalan cukup cepat dengan serentetan aktivitas asik yang kulakukan hingga
tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 WITA. Setengah jam lagi kami
harus menuju dinas PPO untuk membersihkan aula. Sebelum berangkat, tidak lupa
kami salat ashar berjamaah. Sungguh tentram rasanya hati ini karena baru
merasakan menjadi kaum minoritas di sini. Usai salat ashar kami langsung menuju
dinas PPO dengan berjalan kaki sembari menikmati suasana sore bersama pendidik
bangsa.
Telephone
genggamku berbunyi...ketika kulihat nama yang ada dilayar Hpku tertulis Pak
Ande, salah satu staf dinas PPO yang bersedia mendampingi kami dalam
membersihkan aula. Aku langsung menekan tombol Ok dan mulai bercakap dengan Pak
Ande. Ternyata beliau sudah tiba di dinas dan sedang menunggu kedatangan kami.
Aku lalu bergegas menuju dinas setengah lari bersama Mbak Ina. Sampai dinas aku
langsung disodori beberapa sapu. “Halo
ibu, ini sapunya silahkan langsung naik ke atas” katanya. “Jiahhh...gubrak” jawabku sambil
tersenyum. Aktivitas bersih-bersih pun dimulai, kurang lebih satu setengah jam
kami berhasil menata aula sehingga menjadi layak digunakan. “Akhirnya selesai juga” kata Pipop. “Ayo kita ngabuburit ke alun-alun” seru
Mbak Endah (Pengajar asal Kec Satarmese). “Yuuukkkk”
jawab kami serentak.
Asiknya berbuka puasa bersama
teman-teman di Kota Ruteng. Warung di belakang masjid Jihadul Ukhro menjadi
pilihan kami untuk berbuka. Aku memesan bakso urat dengan sepiring nasi,
sungguh nikmat sekali makanan ini (pujiku dalam hati). Usai berbuka tak lupa
kami menunaikan salat magrib dan pulang. Sesampai di rumah kami tidak langsung
masuk, melainkan harus melanjutkan perjalanan untuk bersilaturahmi ke rumah kak
Evry. Kak Evry adalah ibu pemilik rumah yang kami tinggali sekarang, tujuan
kami adalah memenuhi undangan dalam rangka hari natal karena beliau berbeda
keyakinan dengan kami.
Selasa,
27 Desember 2011
Rapat
koordinasi perdana SM-3T UNNES di mulai hari ini. Segala persiapan telah
selesai, Aku bersama teman-teman menuju dinas PPO pada jam 08.00 WITA karena
harus mempersiapkan segala sesuatunya sembari menunggu pendidik bangsa dari 7
kecamatan lain. Rapat kali ini di buka oleh Kepala Dinas Kab. Manggarai. Rapat
berjalan dengan lancar sampai pukul 15.00 WITA. Hasil rapat hari ini memutuskan
bahwa Koordinator Kabupaten Manggarai terpilih adalah Mansur disamping itu
program-program yang nantinya akan dilaksanakan selama 10 bulan ke depan juga
sudah dirancang dan dimatangkan sewaktu rapat. Lunas sudah kegiatan hari ini,
usai rapat kami membersihkan aula sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Pak
Ande. Dilanjutkan makan bersama di warung Mie Ayam. Sungguh pemandangan yang
jarang sekali terjadi, karena kami bisa berkumpul bersama padahal jarak
penugasan kami tidak dekat.
Rabu,
28 Desember 2011
Hari
ini banyak sekali pendidik bangsa yang berpamitan pulang menuju daerah tugas
masing-masing. Rahong utara, Reok, Cibal, Satarmese dan Satarmese Barat yang
terakhir meninggalkan Ruteng. Sedih rasanya berpisah dengan rekan-rekan
seperjuangan. Hati-hati di jalan, selamat berjuang, dan selamat bertemu
kembali.
Kamis
29 Desember 2011
Lembor
adalah sebuah kecamatan yang terletak di Manggarai Barat. Hari ini kami
mengunjungi tempat itu untuk bersilaturahmi dengan salah satu keluarga pendidik
bangsa asal Manggarai Barat, Mansur. Kedatangan kami bertepatan dengan pesta
pernikahan sepupu Mansur sehingga kami harus menghadiri resepsi pernikahan
juga. Sambutan yang diberikan dari keluarga mempelai sungguh luar biasa. Pesta
pernikahan adat setempat sangat sederhana. Tidak ada tratak, tidak ada padi-padi, tidak ada baju
pengantin, semua terbungkus dalam kesederhanaan. Dalam pesta itu, terlihat
terpal melindungi tamu undangan dari panasnya sinar matahari, kedua memperlai
hanya menggunakan kebaya biasa tanpa manik-manik atau monte yang biasa dipakai
pengantin untuk memberikan kesan glamor. Padi-padi berganti wajah dengan
selembar tulisan yang berbunyi mohon doa restu. Terus terang, aku baru saja
melihat pesta pernikahan yang begitu sederhana di desa Siru ini. Jauh dalam lubuk
hatiku bertanya-tanya, apakah memang begini adat setempat yang berlaku, atau
keluarga mempelai tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai pesta penikahan
yang agung. Entahlah, hanya bertanya-tanya dalam hati saja.
Usai
menghadiri pesta penikahan, sebenarnya kami mempunyai acara yang sudah
dirancang dari sebelum berangkat, yakni pergi ke pantai. Namun lagi-lagi acara
batal karena senja telah datang sementara jarak antara rumah Mansur sampai ke
pantai cukup jauh, maka kami terpaksa beralih ke kali dekat rumah Mansur. “Tiada pantai, kali pun jadi” kataku.
Kami langsung menuju ke kali saat itu juga. Jalan menuju ke kali sangat curam
dan masih banyak batu-batu terjal. Kayu-kayu runcing terlihat disepanjang jalan
itu. Tiba-tiba cuaca berubah mendung, membuat kami berpikir ulang untuk menuju
ke kali. “Maju atau mundur ini?” teriak
Mansur dari kejauhan. Kami menjawab serentak “Maju!”. Tanpa berpikir panjang kami melanjutkan perjalanan dan
akhirnya berhasil mencapai bibir sungai. Ketika itu kami masih memakai baju
resmi untuk menghadiri resepsi, Mansur juga masih memakai sepatu pantofel
tiba-tiba turun hujan deras saat itu. Belum sempat kami mengabadikan dalam
kamera, kami sudah berhambur mencari tempat berteduh. Ada yang langsung lari
naik ke atas, ada yang berteduh di bawah pohon jati, dan ada yang tetap
berjalan dengan menggunakan sehelai daun jati untuk melindungi kepala.
Sementara aku masih berusaha mengabadikan moment itu dengan kamera HP. Hujan
yang sungguh deras kataku, kami merasa geli melihat penampilan masing-masing
dengan baju yang masih melekat, susah payah kami mempertahankan kekeringan
baju, basah juga akhirnya.
Sesampai
di atas, kami berebut meminjam sarung dari saudara Mansur karena kebanyakan
dari kami tidak membawa pakaian ganti dari Ruteng. Pakaian tidak ada, sarung
pun jadi. Pemandangan yang aneh tapi lucu kataku. Cuaca dingin ditemani dengan
secangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng, sungguh kenikmatan ditengah
kekosongan perut. Malam harinya kami disambut dengan hidangan lezat, hidangan
langka, hidangan yang jarang sekali kami nikmati selama di Manggarai yakni
Ayam. Mendengar menu malam ini adalah ayam, mata yang tadinya mengantuk
akhirnya sadar juga. Kami menikmati hidangan dengan lahapnya sebelum tidur lelap.
Jumat,
30 Desember 2011
Kami
berpamitan kepada keluarga besar Mansur seraya berterima kasih atas kebaikan
dan keramahan hatinya dalam menyambut kami. Mobil yang siap mengantarkan kami
ke Ruteng sudah menunggu di luar. Dalam perjalanan menuju Ruteng, kami banyak
singgah di berbagai tempat di Lembor. Semata-mata hanya untuk memenuhi kursi
dalam mobil saja. Tiba di Ruteng siang hari, kondisi tubuh sudah sangat
kelelahan. Semua pendidik bangsa juga kelaparan, maka kami memutuskan untuk
membeli makan di luar, setelah itu kembali ke rumah sementara rekan-rekan putra
menjalankan ibadah salat Jumat di masjid.
Hpku
tiba-tiba berdering. Ternyata Pipop yang menelponku. Dia sengaja memberikan
kabar kepadaku bahwa ia juga akan ikut serta merayakan tahun baru di pulau
Mules. Senang sekali rasanya, sebentar lagi aku akan bertemu temanku.
0 komentar:
Posting Komentar