Tak bisa menulis dengan kebisuan, hidup = mati, mati = sendiri. Laut itu memerah laiknya percikan darah yang menari dari liaran makna hidup. Akan sampai pada waktunya, di mana tarian itu meredup dengan tali kasihnya. Aku tak mampu mengeja kata pun meraba maya.
Aku akan menggali kuburku sendiri. Tiada beda dengan kerusuhan diotakku yang menyambar habis kegalauan. Tak pernah sampan berlabuh pada ogokan tanah di laut. Tak ada beda ia atau paras cantik. Semua akan tiba pada ketahanan yang hakiki...karena aku tak kan mampu memberi sedekah cinta dan aku tak kan bisa memberi sekantung rindu. Bukan apa-apa, karena tiada yang bisa menyingkapnya.
Ia sama sepertiku nyaris tanpa selisih...membercaki lembaran hitam dengan tinta manis. Ya...ya.. begitu hebatnya aku, meniduri malam lembab tanpa jeda yang berarti. Pergi...pergi ke dalam lubang senjamu. Aku bahkan tak rela memandang sapuan ombak gunung itu, hijau yang memerihkan! Menghebatkan birumu dengan daun laut itu, biru yang memilukan! Entah...retak meretak seuja bilurku meruwat hidup yang terkikis. Mencoba memahat pulau pikirku dengan pisau atau tatah. Membentuk petakpetak epigon yang menyesatkan. Terlalu lampau keklisean semesta yang menyapa zaman, karena rinai tak kan pulih dengan bantuan rinduk hujan.
Tak ada yang biasa di sini. Semua terpoles dengan kedengkian. Tak ada kebersahajaan dengan bumbu semu yang merebahkan aroma busuk ke seantero jagad.
Goresan Semu:
“Sandra Noryz”
(Magelang, 26 Oktober 2010)
Rabu, 27 Oktober 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar